Jumat, 14 September 2012

TNI AU R.I.

Sejarah TNI Angkatan Udara

Sejarah lahirnya TNI AU bermula dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada Tanggal 23 Agustus 1945, guna memperkuat Armada Udara yang saat itu sangat kekurangan pesawat terbang dan fasilitas-fasilitas lainnya. Sejalan dengan perkembangannya berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan nama TKR jawatan penerbangan di bawah Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma.
Pada tanggal 23 Januari 1946 TKR ditingkatkan lagi menjadi TRI, sebagai kelanjutan dari perkembangan tunas Angkatan Udara, maka pada tanggal 9 April 1946, TRI jawatan penerbangan dihapuskan dan diganti dengan Angkatan Udara Republik Indonesia, kini diperingati sebagai hari lahirnya TNI AU yang diresmikan bersamaan dengan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Salah satu Sejarah monumental yang selalu diperingati jajaran TNI AU tiap tahun adalah apa yang dinamakan Hari Bhakti TNI AU. Peringatan Hari Bhakti TNI AU, dilatar belakangi oleh dua peristiwa yang terjadi dalam satu hari pada 29 Juli 1947. Peristiwa Pertama, pada pagi hari, tiga kadet penerbang TNI AU masing-masing Kadet Mulyono, Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutarjo Sigit dengan menggunakan dua pesawat Cureng dan satu Guntei berhasil melakukan pengeboman terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda di tiga tempat, masing-masing di kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.
Peristiwa Kedua, jatuhnya pesawat DAKOTA VT-CLA yang megakibatkan gugurnya tiga perintis TNI AU masing-masing Adisutjipto, Abdurahman Saleh dan Adisumarmo. Pesawat Dakota yang jatuh di daerah Ngoto, selatan Yogyakarta itu, bukanlah pesawat militer, melainkan pesawat sipil yang disewa oleh pemerintah Indonesia untuk membawa bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya.
Penembakan dilakukan oleh dua pesawat militer Belanda jenis Kittyhawk, yang merasa kesal atas pengeboman para kadet TNI AU pada pagi harinya. Untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan ketiga perintis TNI AU tersebut, sejak Juli 2000, di lokasi jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA (Ngoto) telah dibangun sebuah monumen perjuangan TNI AU dan lokasi tersebut juga dibangun tugu dan relief tentang dua peristiwa yang melatar belakanginya. Di lokasi monumen juga dibangun makam Adisutjipto dan Abdurachman Saleh beserta istri-istri mereka.

PESAWAT MERAH PUTIH PERTAMA

Hari itu 27 Oktober 1945, sehari menjelang peringatan 17 tahun Sumpah Pemuda, di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta terlihat ada kesibukan. Nampak para teknisi sedang berada di sekitar sebuah pesawat Cureng yang bertanda bulat Merah Putih, mempersiapkan segala sesuatunya untuk sebuah penerbangan yang direncanakan. Mereka menginginkan sebuah pesawat Merah Putih terbang hari itu, untuk membangkitkan Sumpah Pemuda.
Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Adi, adalah satu-satunya penerbang Indonesia yang berada di Pangkalan Maguwo. Hari itu, Pak Adi akan terbang bersama Cureng Merah Putih. Upaya itu membawa hasil.
Pak Adi membawa terbang Pesawat Cureng Merah Putih tersebut berputar-putar di Angkasa Pangkalan Maguwo disaksikan dengan rasa kagum oleh seluruh anggota pangkalan yang berada dibawah. Itulah awal mula sebuah pesawat Indonesia bertanda Merah Putih terbang di angkasa Indonesia yang merdeka.

------------------------------------------------------------------

PESAWAT CURENG

Buatan
Pabrik
Jenis/tipe
Motor
Panjang Sayap
Panjang Pesawat
Tinggi Pesawat
Persenjataan
Sumber Tenaga
Kekuatan
Berat kosong
Kecepatan
Jarak jelajah
Tinggi terbang
Akomodasi
Daya angkut
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tahun 1933
Nippon Hokoki KK
Latih Lanjuut
Radial Dingin Angin
11M
8.05M
3.20M
7.7 mm MG x 2
9 Cylinder radial air cooled angine 1.800 Hp.
350 Daya Kuda
1000 kg
207 km/jam
708 km
4000 m
2 orang
500 kg
Pesawat Cureng  tergolong pesawat kecil bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan  dua tempat duduk (depan belakang). Copit  tanpa kanopi penutup atas sehingga bagian kepala dan dada penerbang kelihatan jelas dari luar.  Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” dengan kekuatan 350 dayakuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/h dan  kecepatan mendarat 92,6 km/h.  Pencapai terbang sejauh 708 km dengan  batas ketinggian praktis 4000 m dengan lama terbang 4½ jam. 
Nama cureng merupakan nama lokal Indonesia, dalam bahasa Jepang  pesawat buatan pabrik Nippon Hikoki KK tahun 1933 ini dikenal dengan sebutan Yokusuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan pihak Serikat menyebutnya dengan “Willow”. Dalam Perang Pasifik, pesawat ini dijuluki  dengan   “Red Dragonfly” (Si Capung Merah).  Sejak berlangsungnya perang Cina – Jepang sampai tahun berakhirnya perang Pasifik telah diproduksi sebanyak 5.591 buah pesawat. Beberapa buah diantaranya digunakan untuk sebagai pasukan penyerang “kamikaze” meskipun sebenarnya pesawat ini dibuat untuk pesawat latih lanjut.

Satu pesawat Cureng sedang diperbaiki di PU Maguwo Yogyakarta 
Dimasa pendudukan Jepang, pesawat Cureng tergabung dalam kesatuan Kaigun Koku Butai (Angkatan Laut Jepang). Pesawat ini didatangkan ke Indonesia dalam jumlah relatif banyak dengan tujuan  untuk   memindahkan pelatihan  calon penerbangnya ke Indonesia. 
Cureng ini merupakan pesawat peninggalan Jepang yang paling banyak dibandingkan dengan pesawat lainnnya.   Di Indonesia pesawat cureng ini ditemukan hanya di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebanyak 50 buah.  Untuk memastikan kondisi pesawat tersebut atas perintah Suryadi Suryadarma, didatangkan teknisi dari Pangkalan Udara Andir Bandung.  Di Pangkalan Udara Maguwo waktu itu tidak ada teknisi pesawat.  Dua orang dari beberapa teknisi dari Bandung tersebut  adalah Basir Surya dan Tjarmadi.
Dari hasil pemeriksaan secara umum semua pesawat tersebut dinyatakan dalam keadaan rusak,  kecuali tiga yang masih dalam keadaan lengkap walaupun dalam keadaan rusak ringan.  Ketiga pesawat Cureng ini merupakan pesawat yang siap terbang namun batal karena kedatangan pasukan yang dipimpin oleh Suharto (mantan Presiden RI).   Waktu itu Suharto sempat taxi (memarkir pesawat) ketiga pesawat tersebut setelah para penerbangnya yang orang Jepang ditawan dan PU Maguwo berhasil direbut. Hanya dalam waktu satu hari yakni tanggal 26 Oktober satu pesawat Cureng dapat diperbaiki dan dinyatakan siap test flight setelah diberi tanda berupa lingkaran berwarna merah putih sebagai simbol bendera RI yang sekaligus menyatakan bahwa pesawat tersebut sudah menjadi milik Republik Indonesia.
Test flight dilakukan tanggal 27 Oktober 1945 pukul 10.00 selama 30 menit oleh Agustinus Adisucipto yang didampingi oleh Rujito. Dipilihnya Agustinus Adisucipto untuk test flight ini karena ia satu-satunya waktu itu yang mempunyai wing penerbang yaitu Groot Militaire  Brevet.   Namun wing penerbang yang dimiliki adalah kualifikasi penerbang dengan pesawat Eropa, bukan pesawat Jepang.  Penerbangan ini tercatat sebagai penerbangan pesawat  beridentitas merah putih yang pertama di alam Indonesia merdeka oleh pemuda Indonesia sendiri.

Deretan Pesawat Cureng di PU Maguwo 
Setelah penerbangan pertama itu, para teknisi terus bekerja memperbaiki pesawat – pesawat  yang ada di Maguwo. Pada awal Januari 1946, berhasil diperbaiki dan disiapkan  25 pesawat lagi hingga siap terbang. Pesawat cureng tersebut kemudian menjadi kekuatan Pangkalan  Udara Maguwo yang sekaligus menjadi kekuatan Sekolah Penerbangan yang dipimpin oleh Agustinus Adisucipto.  Sekolah Penerbangan itu dibuka pada tanggal 15 November 1945. Karena itu pesawat cureng umumnya hanya diterbangkan oleh para kadet Sekbang.  Para kadet angkatan pertama sekolah penerbang ini tercatat 31 orang yaitu :
1. Husein Sastranegara, 2. H. Sujono, 3. Sulitijo, 4. Imam Suwongso, 5. Sunaryo, 6. Sudaryono, 7. Tugijo Kartosandjojo, 8. Murkidjo Tjokrohamiprodjo, 9. Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, 10. Santoso, 11. Makmur Soehodo, 12. Soedjono, 13. Sugoro, 14. Sutardjo Sigit, 15. Soeharto, 16. Bambang Saptoadji, 17. Gusti Endeng, 18. Yuliarso, 19. A. Fatah, 20. Jusran, 21. RI. Mantiri, 22. Iswahjudi, 23. Mulyono, 24. Gunadi, 25. Arjono, 26. Suprapto, 27. Tarsono Roedjito, 28. Wim Prajitno, 29. Abimanyu, 30. Suharnoko Harbani, 31. Prajitno.
Dari 31 siswa tersebut beberapa diantaranya berhasil menyelesaikan pendidikan dan dinyatakan sebagai penerbang.  Salah satunya adalah Prof. Abdulrachman Saleh yang kemudian berperan juga sebagai  instruktut pesawat Cureng bagi siswa penerbang lainnya.  Pesawat Cureng juga pernah digunakan oleh Abdulrachman ketika pindahan dari Yogyakarta ke Maidun dalam rangka tugas ditempat yang baru yaitu menjadi Komandan Lanud Maospati.
Tanggal 14 Januari 1946 salah satu pesawat cureng mengudara dari Pangkalan Udara Maguwo.  Namun naas pesawat Cureng tersebut mengalami kecelakaan. Waktu itu pesawat  diterbangkan oleh Iswahjudi dan Wiriadinata sebagai penumpang.   Kedua orang yang berada dalam penerbangan itu selamat.  Peristiwa ini merupakan kecelakaan pesawat cureng pertama  yang sekaligus merupakan kecelakaan pesawat pertama di alam Indonesia merdeka.  Benar juga apa yang dikatakan oleh para penerbang Royal Air Force (RAF) yang pernah datang ke Yogyakarta.  Para penerbang itu mengatakan “You are flying Coffin” (Tuan menerbangkan sebuah peti mati).

Dua Pesawat Cureng sedang terbang formasi pa bulan Maret 1947 
Kecelakaan pesawat tersebut ternyata tidak membuat ciut  nyali para penerbang muda waktu itu dan tidak berkesimpulan bahwa pesawat jenis Cureng tersebut tidak layak terbang malah menjadi tantangan bagi pelopor pendiri dan pejuang AURI untuk terus mengabdi kepada bangsa dan negara yang baru berdiri.  Dua hari setelah kecelakaan tersebut (tanggal 16 Januari 1946), satu pesawat  Cureng diterbangkan oleh Suyono untuk melakukan  tugas pengintaian di Laut Selatan.  Misi pengintaian  menggunakan pesawat Cureng itu atas perintah Agustinus Adisucipto.  Pesawat Cureng take off dari Pangkalan Udara Maguwo menuju Parangtritis, sampai jauh ke Selatan di atas Lautan Hindia. Dalam penerbangan itu, pesawat sempat masuk awan hitam tebal sehingga penerbanganya sampai kehilangan orientasi (disorientasi). Peristiwa ini pun dicatat sebagai operasi penerbangan pertama dalam rangka misi pertahanan di Indonesia merdeka.  Peristiwa itu diceritakan oleh penerbangnya pada Majalah Angkasa.
“Waktu itu tanggal 16 Djanuari 1946. Aku terpaksa masuk dalam awan jang gelap.  Satupun tidak ada lubang tjelah2 awan jang dapat memberi harapan kearah udara terang.  Kabut demikian tebalnja, hingga tidak sesuatupun jang tampak.   Sekilat teringat aku sedikit teori2 terbang buta, tetapi apa, aku tidak berpengalaman.
Kemudian terasa ….aku tak dapat meneruskan lagi.   Mata kupejamkan, sembahyang singkat dan memohon kepada illahi. 
Terbajang anak dan istriku, ketika pamitan tadi, disesal dengan teriakan ketakutan.  Aku djadi bingung, terdesak.  Ja, sjukur! Achirnya ingat dan sadar, bahwa harus berani hidup bila harapan masih ada.  Aku berusaha menenangkan semua instrument.  Untunglah gojangnya itu makin berkurang, tetapi tenang tidak.
Untuk mengambil djurusan tertentu tidaklah mungkin , karena dalam pesawat sangat gelap akibat awan tebal membeku. Sekonjong-konjong aku tersembul dari awan jang memajahkan itu.   Aku berada dalaam ketinggian 150 m. Hudjan mengutjur.  Tidak tahu entah dimana aku berada.
Aku berusaha pulang kepangkalan.  Check bensin tjukup untuk 20 menit.  Mendjumpai banjak gunung ketjil dan kali, akan tetapi aku tidak dapat mengenalnja.   Achirnja beruntung sebatang kali, sebagai ‘Reddend engel!’ dan dapat sadar tentang posisi hingga terus dapat menudju pulang.
Ketika turun dari atas landasan begitu pesawat  mendjedjakkan kakinja di tanah begitu pula segera mesin mati.  Sjukur! Sjukur! Aku kembali selamat. ….”
Sukses dengan fungsinya sebagai pesawat latih  melahirkan beberapa orang penerbang, pesawat  Cureng tercatat sebagai pesawat pertama yang digunakan dalam latihan terjun payung.  Latihan terjun payung pertama ini dilaksanakan tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo atas perintah Suryadi Suryadarma selaku kepala TKR jawatan Penerbangan.  Latihan terjun payung itu  menggunakan 3 pesawat Cureng yang masing-masing diterbangkan oleh A. Adisucipto, Iswahjudi, dan Makmur Suhodo.  Adapun para penerjunnya adalah Amir Hamzah, Legino dan Pungut.    Satu pesawat untuk satu penerjun.  Penerjunan ini merupakan peristiwa penting bagi TNI Angkatan Udara bahkan bagi TNI maupun bagi bangsa Indonesia bahwa  inilah awal dari munculnya pasukan para TNI.
Kalau dibandingkan dengan penerjunan saat ini yang menggunakan pesawat angkut seperti Hercules, Fokker, dan CN-235 maka sulit dibayangkan terjun dengan menggunakan pesawat kecil dua seat yakni  satu untuk penerbang dan satu untuk penerjun.  Penerjun duduk di belakang penerbang (pilot).  Setelah mencapai ketinggian yang telah ditentukan, secara perlahan dan hati-hati penerjun keluar dari cocpit dan berdiri di wing sambil berpegangan dan  mundur secara perlahan kearah belakang wing. Setelah ada perintah “go” dari pilot maka penerjun terjun.  Penerjunan pertama menggunakan pesawat cureng tersebut dinyatakan berhasil.  Latihan terjun payung yang pertama ini disaksikan oleh Panglima  Besar TKR Jenderal Sudirman dengan beberapa staf.
Pada tanggal 16 Maret 1946, sekali lagi H. Suyono  menerbangkan pesawat Cureng, kali ini bertolak dari Pangkalan Udara Bugis Malang menuju Utara untuk menyebarkan pamflet di atas kota Sidoarjo.  Dalam penerbangan itu ikut pula seorang montir pesawat, Sukarman.
Selain melaksanakan latihan terbang solo, pesawat Cureng juga digunakan untuk latihan  terbang formasi  dan Cross Country (lintas daerah). Latihan terbang formasi dan lintas daerah dilakukan pada tanggal 15 April 1946 dengan pesawat Cureng.  Penerbangnya antara lain  Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso, dan Wim Prayitno.   Cross country ini merupakan terbang formasi dan lintas daerah yang pertama dilakukan oleh penerbang-penerbang Indonesia.
Pesawat Cureng dengan identitas merah putih berbentuk bulat dan nomor registrasi 62 serta TJ di ekor pesawat 
Tanggal 12 Mei 1946 kembali pesawat Cureng diterbangkan ke arah Timur dan mendarat di Lapangan Sekip (Pamekasan).  Penerbangan yang dipiloti oleh  Opsir Udara II  Sujono dan OU III Wim Prajitno dengan misi  memperbaiki lapangan udara   tersebut sebagai persiapan guna penerbangan berikutnya.  Ikut serta dalam penerbangan itu dua orang montir pesawat yakni Naim dan  Dulatif.  Dalam penerbangan kembali  kedua pesawat terpaksa mendarat di Pangkalan Udara Bugis  Malang karena mengalami kerusakan  di bagian kaki rodanya.
Pada tanggal 21 Mei 1946 empat pesawat cureng mengudara menuju beberapa daerah di Jawa barat dan Jawa Timur. Dua pesawat Cureng menuju ke Serang Jawa barat.  Cureng pertama diterbangkan oleh  OU II Husein Sastranegara sebagai yang disertai H. Semaun dan pesawat kedua dipiloti oleh OU III Santoso disertai seorang penumpang bernama Soeharto.  Sebuah pesawat Cureng menuju ke Malang dengan penerbang OU III Sunarjo yang disertai seorang  penumpang Suparman. Sebuah pesawat terbang Cureng lainnya diterbangkan oleh OU II H. Sujono dan Komodor Udara Halim Perdanakusuma dalam penerbangan kearah Timur untuk mencapai Pulau Madura dan mendarat di sebuah tempat pembuatan garam, karena belum adanya pangkalan udara yang siap untuk didarati. Setelah lima hari mengadakan perjalanan ,  pada tanggal 25 Mei 1946 keempat pesawat tersebut  kembali ke Maguwo dengan selamat.
Kemudian pada tanggal 10 Juni 1946, pada saat pembukaan Lanud Tjibereum Tasikmalaya diterbangkan 5 pesawat Cureng dari Maguwo dengan crew sebagai berikut :
-       Komodor A. Adisutjipto dan Husein Sastranegara
-       Komodor Muda Udara dr. Abdurachman Saleh dan Tulus Martoatmodjo.
-       Opsir Udara Sujono dan OMU Kaswan
-       Opsir Udara Wirjosaputro dan Opsir Udara Sunarjo.
-       Opsir Udara Iswahjudi dan Opsir Udara Suhodo.
Tanggal 8 Agustus 1946, sebuah pesawat Cureng diterbangkan dari PU Maguwo Yogyakarta ke PU Bugis Malang.  Adapun misi penerbangan yang dipiloti oleh Tugio adalah mengantarkan AS. Hananjuddin atas panggilan Divisi VIII Malang Imam Supeno.
Pada tanggal 2 September 946 salah satu pesawat Cureng kembali mengalami kecelakaan dan ini adalah kecelakaan kedua pesawat Cureng setelah kejadian pertama pada tanggal 14 Januari 1946.  Pesawat jatuh di Cipatujah (Tasikmalaya) sewaktu pesawat melakukan pendaratan darurat yang mengakibatkan gugurnya Opsir Udara II Tarsono Rudjito.   Opsir Udara II Tarsono merupakan korban pertama akibat kecelakaan pesawat militer di Indonesi Merdeka.   Dalam rangka tabur bunga atas meninggalnya Tarsono, pada tanggal 13 September 1946, sebuah pesawat Cureng yang lain diterbangkan untuk melaksanakan tabur bunga dari udara yang diterbangkan oleh Husein Sastranegara.[11]
Pada tanggal 29 Juli 1947, digunakan untuk menyerang kedudukan musuh (Belanda) di kota Ambarawa dan Salatiga.  Pesawat Cureng diterbangkan oleh Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutardjo Sigit.   Pesawat Cureng juga digunakan  oleh Kadet Udara I Aryono untuk membom Purwodadi dalam rangka Penumpasan PKI atas permintaan Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Subroto.  Pada tahun 1948 saat meletusnya pemberontakan PKI Muso di Madiun pesawat ini digunakan untuk penyebaran pamflet, drooping obat-obatan dan logistik  bagi pasukan ABRI yang berada di daerah terpencil.

Curen dengan identitas merah putih berbentuk bulan dan nomor registrasi  62 serta TJ di ekor pesawat

Pada tanggal 27 Agsutus 1946 dilakukan terbang formasi dengan enam buah pesawat jenis Nishikoreng , Cukiu dan Cureng menuju pangkalan  Udara Cibeureum Tasikmalaya.  Kemudian melanjutkan  penerbangan ke Pangkalan Udara Gorda Banten.  Di Gorda terpaksa sebuah pesawat Cureng ditinggalkan  karena mengalami kerusakan mesin.   Keesokan harinya dilanjutkan penerbangan ke Pangkalan Udara Branti Lampung.  Kelima pesawat kembali ke Maguwo lewat Gorda.  Di Gorda ditinggalkan lagi sebuah pesawat Cukiu karena kerusakan mesin.   Dalam perjalanan pulang ke Maguwo tiga pesawat melakukan pendaratan darurat.
            Salah satu pesawat Cureng bersama pesawat  Cukiu dan Nishikoreng yang ada di Pangkalan Bugis Malang dikirim ke Pangkalan Udara Panasan.  Pangkalan Udara yang waktu itu dipimpin oleh Komandan Pangkalan H. Sujono tidak punya pesawat sementara disana mempunyai 14 orang tenaga teknik.    Ketiga pesawat yang dalam keadaan rusak berat tersebut dibawa ke Panasan Solo dengan menggunakan Kereta Api.  Tiba  di Solo,  ketiga pesawat tersebut termasuk pesawat Cureng berhasil diperbaiki pada bulan September 1946.  Namun belum ada kelanjutannya setelah perbaikan pesawat Cureng tersebut.
 
            Dalam menumpas pemberontakan PKI Muso pada bulan September 1948, pesawat Cureng mendapat tugas menyebarkan pamflet kepada masyarakat agar tidak mengikuti pemberontakan PKI dan mendukung pemerintah untuk membasminya.  Untuk mengabadikan dan mengenang kiprah pesawat cureng ini, pada  tahun 1977 salah satu pesawat ini diabadikan di Museum TNI Satria Mandala.



SUMBER: DINAS SEJARAH TNI AU  R.I. 
----------------------------------------------------------------------
FOTO -FOTO







FORMASI LATIHAN TEMPUR BERSAMA



FOTO PESAWAT TNI AU
SUKHOI SU -27 FLANKER/ SINGLE FIGHTER 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar