Sabtu, 21 Mei 2016

Kerjasama Pertahanan Indonesia dan Rusia



ketua tim penasihat ke presidenan  , Ary Dwipayana mengatakan ada beberapa kerja sama bilateral yang di tanda tangani dalam pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Rusia Vladimir utin salah satu nya adalah kerja sama bidang ekonomi dan pertahanan .

salah satu nya adalah tentang pembahasan rencana pembelian pesawat tempur SU-35 dan pembelian kapal selam kilo class seri  363 yang teknologi nya lebih bagus dari kapal selam yang telah di miliki TNI AL.

hal ini di benarkan oleh  penasihat presiden kremlin " rusia akan menandatangani pembelian alat tempur  alusista  indonesia  seperti SU-35 dan kapal selam kilo 363 varsayanka yang termasuk di bahas dalam pertemuan pribadi jokowi dan putin hal ini tercantum dalam akta kerjasama pertahanan yang di tanda tangani oleh pemerintah indonesia dan  rusia"

hal ini melupakan lanjutan dari program MEF bagi TNI dalam tahun 2014-2019 untuk ketiga angkatan yang telah mengalami penambahan anggaran pada tahun 2016  ini.

"Kami sepakat untuk meluaskan kerja sama antara Kementerian Pertahanan dan Keamanan," ujar Putin, seperti dikutip dari Reuters, Rabu, 18 Mei 2016. Putin mengatakan, selain soal alutsista, Indonesia juga sepakat untuk melakukan pertukaran informasi intelijen.


Sebelumnya, Kepala Badan Ekspor Senjata Rusia Alexander Formin mengatakan, bahwa Rusia ingin memproduksi amunisi militer untuk Indonesia, termasuk granat. Formin juga menegaskan ketertarikan Indonesia pada alutsista buatan Rusia.  Ia mengatakan Indonesia tertarik pada kapal selam dan jet Rusia.

Pernyataan Formin juga dipertegas oleh Yuri Ushakov. Sebelum pertemuan bilateral dua presiden dilakukan, Ushakov mengatakan Rusia akan menandatangani kesepakatan dengan Indonesia untuk memasok senjata dalam jumlah yang tidak ditentukan. Selain itu, Rusia juga ingin memberikan kesempatan pada Indonesia untuk memproduksi senjata di bawah lisensi Rusia























Sementara itu hasil kunjungan presiden jokowi ke dua negara yaitu korea selatan dan rusia dapat kita petik beberapa point penting :



1.   kerjasama dengan korea selatan


Dalam pertemuan bilateral akan ditandatangani tujuh nota kesepahaman, yaitu sektor kemaritiman, industri kreatif, antikorupsi, restorasi hutan gambut, teknologi pertahanan, kawasan ekonomi khusus, penelitian pengembangan energi dan mineral untuk energi bersih. untuk pertahanan jokowi menanyakan sampai dimana pesanan pembuatan Kapal selam cangbogo milik TNI AL.



2.    kerjasama dengan rusia



      1   Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama di bidang pertahanan dengan Federasi Rusia

  1. Nota Kesepahaman antara Kementerian Luar Negeri Federasi Rusia dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengenai arsip
  2. Program antara Departemen Kebudayaan Rusia serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang kerja sama budaya periode 2016-2018
  3. Pernyataan bersama antara Badan Federal untuk Perikanan Rusia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada saling pengertian dan kerja sama di bidang pencegahan illegal fishing dan regulasi penangkapan ikan
  4. Nota kerja sama di bidang kearsipan antara Badan Nasional Arsip Rusia dan Badan Arsip Republik Indonesia




Rabu, 20 April 2016

NURTANIO LEGENDA TNI AU



Nurtanio, Perwira Penggila Pesawat

Nurtanio Pringgoadisurjo, perintis dirgantara Indonesia. (Dok. tni-au.mil.id)
JakartaCNN Indonesia -- Langit runtuh, sukma luruh. Hari itu, 21 Maret 1966, pesawat yang dipiloti Nurtanio Pringgoadisurjo jatuh. Nestapa menggelayut di angkasa Bandung. Angkatan Udara Republik Indonesia berkabung, gugur lagi sayap pelindung.

Nurtanio pergi di usia cukup muda, 42 tahun. Duka menyerbu kerabat sahabat, tak terkecuali dua karib Nurtanio: Wiweko Soepono dan Jacob Salatun. Tak membuang waktu, Wiweko langsung terbang ke Bandung bersama Salatun dengan pesawat Beechcraft 18 yang ia kemudikan sendiri.

Sepanjang perjalanan, kedua kawan kental Nurtanio itu tertegun, terpekur. “Kita sekarang tinggal berdua,” kata Wiweko kepada Salatun, sendu.

Nurtanio, Wiweko, dan Salatun dikenal sebagai tiga serangkai perintis dirgantara. Mereka memulai karier bersama saat Indonesia masih bayi baru lahir dan AURI masih bernama Tentara Keamanan Rakyat Jawatan Penerbangan.

Sebelum itu, Salatun dan Wiweko telah mengenal Nurtanio. Salatun ialah adik kelas Nurtanio di Sekolah Menengah Tinggi Teknik atau Kogyo Senmon Gakko di Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Salatun bergabung dengan Junior Aero Club yang didirikan Nurtanio di sekolah itu.
Sementara Wiweko sudah berkorespondensi dengan Nurtanio sejak Nurtanio duduk di bangku sekolah di Semarang, Jawa Tengah. Nurtanio lebih dulu bersurat kepada Wiweko di Bandung. Ia tertarik dengan perkumpulan pembuat pesawat model yang dibentuk Wiweko, yakni Bandoengsche Jeugd Luchtvaart Club atau Bandung Youth Aviation Club.

Dari surat-menyurat dengan Wiweko itulah Nurtanio belajar tentang aeromodelling serta pengorganisasian dan manajemen klub. Keduanya, bersama Salatun, adalah penggila pesawat terbang yang punya satu lagi kesamaan: berlangganan majalah kedirgantaraan berbahasa Belanda, Vliegwereld.

Di kemudian hari, tiga sekawan itu berperan penting dalam industri penerbangan Indonesia. Nurtanio ialah pendiri Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) –cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia.

Salatun mendirikan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), sedangkan Wiweko ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia untuk menyelamatkan Garuda yang kala itu berada di ambang kebangkrutan.

Buat pesawat tempur

Sejak kecil Nurtanio menggilai berbagai buku dan majalah teknik penerbangan. Diceritakan dalam buku Nurtanio: Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia, dia kerap mengajak adiknya, Nurprapto, pergi ke Lapangan Terbang Kalibanteng Semarang (kini Bandara Achmad Yani) untuk melihat pesawat.

Saat itu akhir 1930-an, pesawat jarang melintasi Semarang. Maka jika ada Fokker mendarat, Nurtanio amat senang. Dia mencermati tiap gerakan pesawat itu, dari ketika pesawat masih di langit, mulai turun, terbang rendah, hingga menyentuh landasan.

Seakan itu tak cukup, Nurtanio mencari tahu kapan pesawat itu bakal terbang lagi. Dia lantas kembali pada hari pesawat tersebut akan lepas landas, dan lagi-lagi mengamati seluruh aktivitas pesawat.

Hal itu juga ia lakukan saat bersekolah di Yogyakarta. Nurtanio akan pergi ke Sekip –lapangan terbang pertama di Yogya– untuk menyaksikan berbagai pesawat terbang lepas landas dan mendarat.

Setelah bergabung dengan AURI, Nurtanio mewujudkan tekadnya membuat pesawat terbang. Saat menjabat Komandan Depo Perawatan Teknik Udara, Nurtanio membentuk Bengkel Kecil Percobaan dengan tim kecil berisi 15 personel. Pagi hari mereka merawat dan memperbaiki pesawat, siang ke sore merancang pesawat.

Meski peralatan teknik saat itu serba terbatas, Tim Nurtanio tak berserah. Hanya dalam waktu setahun, mereka berhasil membuat pesawat tempur antigerilya Sikumbang. Ini adalah pesawat pertama karya Indonesia yang seluruhnya terbuat dari logam.

Sikumbang, pesawat tempur antigerilya buatan Nurtanio Pringgoadisurjo. 
“Nurtanio mengubah sepenuhnya dari pesawat yang sudah ada. Pesawat tua disesuaikan dan disempurnakan menjadi lebih modern. Bukan sekadar pesawat yang bisa terbang, tapi bisa aerobatik,” kata Suharto, kawan Nurtanio lulusan Institut Teknologi Bandung dan Universitas Teknologi Braunschweig Jerman, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/3).

Suharto mengikuti pembuatan Sikumbang di Andir, Bandung. “Saya melihat terus dari proses pengikiran, pemotongan, sampai Sikumbang diuji terbang. Saya ingat sekali. Itu tahun 1954,” ujar pria yang kini berusia 83 tahun itu.

Satu Agustus 1954, Sikumbang terbang perdana di atas Lanud Husein Sastranegara dipiloti Kapten Powers asal Amerika. Pesawat itu mendapat aplaus meriah dari warga Bandung dan atase militer negara-negara asing yang menyaksikannya diuji.

Sikumbang mendapat sorotan internasional dan dimuat di majalah penerbangan Amerika, Inggris, Jepang, sampai Filipina (Nurtanio lulusan Far Eastern Air Transport Incorporated University di Manila). Sikumbang bahkan masuk ke publikasi tahunan penerbangan dunia Jane’s All the World’s Aircraft.

Kesuksesan Sikumbang disusul oleh deretan karya Nurtanio lain –pesawat latih Belalang, pesawat olahraga Kunang, pesawat penyemprot hama Kinjeng, helikopter ‘kursi terbang’ Gyrocopter Kolentang, dan pesawat serbaguna Gelatik.

Disiplin ketat

Nurtanio menganut pola hidup disiplin tinggi. Sebagai pembuat pesawat, sang perwira AU berpegang pada kedisiplinan, kejujuran, dan ketelitian. Tak ada kata ‘tak akurat’ dan ‘terlambat’ dalam kamus Nurtanio.

“Dia mengerjakan pesawat untuk manusia, maka menerapkan disiplin ketat. Orang lain belum datang, dia pasti sudah datang. Apel mulai jam 07.00, dia jam 06.30 sudah keliling mengecek pekerjaan,” kata Darwis dan Walgito, dua anak buah Nurtanio yang dulu bekerja di bagian produksi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) yang kemudian berubah nama menjadi IPTN.

Saking teliti, Nurtanio mengecek debu di kaca jendela tiap pagi. Ini karena kebiasaannya mengecek debu di pesawat, sehubungan dengan kondisi pesawat yang tak boleh berdebu.

“Debu menahan kelembapan air atau kondensasi. Sekrup berdebu lambat laun akan berkarat karena kondensasi. Itu tak boleh terjadi karena terkait keselamatan,” kata Walgito di Bandung, Selasa (5/4).

Pada zaman itu, ujar Walgito, bor patah pun dicatat detail. “Kalau mengebor kan suka patah karena kecil sekali ukurannya 2,3 milimeter. Jika menekan terlalu keras akan patah. Nah itu dibuat surat, patahnya karena apa, lantas ditandatangani. Lengkap dan teliti.”

Selain ketelitian di tiap bor, ada pula kejujuran di tiap paku. “Umpamanya satu lembar materi pesawat harus dipaku keling 10 butir dengan jarak 2,5 sentimeter. Itu harus tepat, tak boleh kurang atau lebih. Di situ ada kejujuran, tak boleh mengakal-akali,” kata Walgito.

Falsafah kedisiplinan, kejujuran, dan ketelitian yang selalu ditekankan Nurtanio pada para bawahannya ini tak bisa dianggap remeh karena menentukan keselamatan pilot dan penumpang pesawat.

Nurtanio Pringgoadisurjo kerap menginap di kantor pada awal berdirinya Angkatan Udara Republik Indonesia. 
Nurtanio amat memperhatikan anak buahnya. Malam hari dia berkeliling asrama yang terletak di depan hanggar pesawat untuk mengecek menu makan malam para personelnya.

Untuk memantik gairah kerja, kenaikan pangkat diberikan kepada pegawai yang berprestasi. Itu adalah momen membahagiakan bagi mereka.

“Orang yang naik pangkat dibawa sendiri sama Nurtanio ke Mabes AU naik pesawat,” kata Darwis mengenang.

Nurtanio hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk bangsanya. Dia tak menunggu, tapi merintis.

“Bangsa yang merdeka harus memiliki pesawat buatan sendiri untuk keperluan sipil dan militer. Jangan bergantung pada bangsa lain, bangun kekuatan udara sendiri,” kata Nurtanio, setahun setelah Indonesia lepas dari penjajah.

Kini 70 tahun sudah Indonesia merdeka, amanat Nurtanio tetap bergema.




SUMBER :CNN

TNI AU : SEBUAH KISAH MASA LALU




Salatun, 'Pembisik' Sukarno di TNI AU


Istana Merdeka bukan tempat asing bagi Jacob Salatun, Sekretaris Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) periode 1956-1968. Ia kerap diundang ke Istana untuk dimintai pendapat oleh Presiden Sukarno.

Salatun kala itu juga menjabat Penasihat Ilmiah Panglima Angkatan Udara RI Marsekal Omar Dhani. Pengetahuan luas di bidang kedirgantaraan membuat pria lulusan Sekolah Ilmu Siasat AURI dan US Armed Forces Information School itu menjadi salah satu tempat bertanya Sukarno.

“Ayah sering dipanggil ke Istana sama Bung Karno. Mereka jadi dekat karena ayah Sekretaris Depanri,” kata Adi Sadewo, putra Jacob Salatun, kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Jakarta Timur, Rabu (23/3).

Adi yang waktu itu remaja umur belasan tahun, ingat Sukarno kerap bicara dalam bahasa Jawa kepada ayahnya yang kelahiran Banyumas, Jawa Tengah.

“Bung Karno sering bertanya, ‘Opo kuwi?’ ‘Opo iki, Tun?’” ucap Adi menirukan.

Salatun memulai karier di AURI (dulu bernama Tentara Keamanan Rakyat Jawatan Penerbangan) bersama Nurtanio Pringgoadisurjo dan Wiweko Soepono. Ketiga orang ini dikenal sebagai tiga serangkai perintis kedirgantaraan Indonesia.

Nurtanio di kemudian hari menjadi Direktur Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) yang merupakan cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), dan Wiweko menjabat Direktur Utama Garuda Indonesia.

Sementara Salatun yang merintis Dinas Penerangan AU ialah pendiri Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Ia mengajukan proposal komprehensif dan meyakinkan Depanri dengan gigih tentang perlunya pembentukan badan pelaksana di bidang penerbangan dan antariksa.

Perintis antariksa Indonesia, Jacob SalaTUN
“Lapan memang ayah saya yang bikin. Bung Karno tinggal tanda tangan,” kata Adi.

Gagas beli jet pengebom

Salatun adalah otak di balik pembelian pesawat pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Uni Soviet oleh rezim Sukarno. Tu-16 menjadikan Indonesia negara keempat di dunia yang mengoperasikan jet pengebom selain Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet.

Pada era awal 1960-an, Indonesia merupakan salah satu negara dengan armada militer terkuat di jagat. Teknologi dan alat utama sistem senjata (alutsista) asal Uni Soviet menjadi penyokong utama kekuatan tempur RI.

Skuadron udara Indonesia jadi yang paling mematikan di belahan bumi selatan. Berbagai jenis pesawat asal Uni Soviet berjajar di Pangkalan Udara Maospati, Madiun, Jawa Timur (kini Lanud Iswahjudi).

Indonesia saat itu memiliki 20 jet tempur supersonik Mikoyan-Gurevich MiG-21, 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17, 10 jet tempur supersonik bermesin ganda MiG-19, 30 pesawat tempur high-transonic MiG-15, dan 24 pesawat pengebom Tupolev Tu-16.

Mikoyan-Gurevich MiG-17. Ada 49 pesawat tempur jenis ini yang dimiliki Indonesia pada awal 1960-an.
Pesawat tempur AURI yang berjumlah lebih dari 100 unit tersebut seluruhnya buatan Uni Soviet. Saat itu Uni Soviet memang memberi pinjaman dana kepada Indonesia untuk pembelian alutsista. Di sisi lain, Amerika Serikat menolak permintaan Indonesia untuk membeli alutsista dari mereka.

Pembelian jet pengebom jarak jauh Tu-16 adalah ide Salatun. Waktu itu TNI menghadapi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Sementara pesawat pengebom yang ada hanya North American B-25 Mitchell buatan AS untuk jarak menengah.

B-25 bukan pengebom strategis. Angkatan Udara RI kala itu mengeluhkan daya jelajah terbatas pesawat tersebut membuat pangkalan harus digeser. Pun peralatan pendukung mesti diboyong. Operasi B-25 yang tak efektif diperparah dengan aksi AS mengembargo suku cadang militer terhadap Indonesia.

Kondisi memburuk kala Permesta di Sulawesi membentuk kekuatan bernama Angkatan Udara Revolusioner (Aurev) untuk menguasai langit Indonesia guna mempermudah laju pasukan mereka dalam melancarkan serangan ke berbagai wilayah timur Indonesia.

Aurev menjadikan Lanud Tasuka di Sulawesi Utara sebagai markas. Mereka dilengkapi dua pesawat pengebom jarak jauh North American P-51 Mustang, tiga pesawat pengebom ringan Douglas A-26 Invader, empat pesawat pengebom medium Martin B-26 Marauder, dua pesawat angkut Curtiss C-46 Commando, pesawat angkut Lockheed 12, pesawat angkut militer Douglas C-47 Dakota, dan pesawat angkut Douglas C-54 Skymaster.

Seluruh armada Aurev itu berasal dari Amerika Serikat. Pesawat pengebom A-26 Invader bahkan diterbangkan langsung dari Pangkalan Udara AS di Luzon, Filipina. Sementara tambahan 15 pesawat pengebom B-26 Marauder disiapkan Aurev di Filipina.

Di tengah situasi gawat itu, Marsekal Muda Salatun pada tahun 1957 melihat gambar Tupolev Tu-16 di majalah penerbangan asing. Ia langsung berpikir, Indonesia mesti membeli jet pengebom itu. Salatun pun menghadap KSAU Marsekal Suryadi Suryadarma. Mereka terlibat dialog serius.

“Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh, dan kembali sebelum makan siang,” kata Salatun kepada Suryadi seperti diceritakan Angkasa.

“Bagaimana pangkalan (untuk Tu-16),” ujar Suryadi. “Pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun.

Usul Salatun disetujui dan landasan pacu Lanud Iswahjudi di Madiun diperpanjang untuk ikut menyambut kehadiran pesawat pengebom itu. Namun proses pembelian berliku, membutuhkan waktu empat tahun sebelum Tu-16 pertama kali mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, pada 1 Juli 1961.
Tu-16 yang mampu membawa bom dalam jumlah besar tak pelak membuat Angkatan Udara RI ditakuti dunia. Padahal semula Uni Soviet keberatan dengan permintaan Indonesia membeli Tu-16.
Duta Besar Uni Soviet untuk Indonesia, DA Zhukov, pada akhir 1950-an mengatakan kepada Presiden Sukarno bahwa Tu-16 masih pada tahap pengembangan dan belum siap dijual. Meski demikian, Sukarno berkeras.

Di balik sikap keras hati Sukarno itu, Salatun berperan penting. “Saya ditugasi (KSAU) Pak Surya menagih janji Bung Karno (membeli Tu-16) tiap ada kesempatan.”

Salatun juga ikut dalam rombongan delegasi pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution yang ditugasi Sukarno untuk ke Moskow membeli senjata. Saat itulah Uni Soviet setuju menjual Tu-16 kepada Indonesia.

Kegigihan Salatun ‘membisiki’ Sukarno akhirnya berujung pada kedatangan satu skuadron Tu-16 berisi 24 pesawat secara bergelombang ke Jakarta. Pesawat-pesawat itu menjadi kekuatan sekaligus kartu as Indonesia dalam memenangi operasi pembebasan Irian Barat melawan Belanda.

Berintuisi tajam

Salatun memiliki insting kuat. Ketajaman nalurinya pernah secara tak langsung menyelamatkan Nurtanio, sahabatnya. Kala itu Nurtanio yang menjabat Direktur Pemeliharaan dan Kepala Teknologi Udara AU berencana menguji terbang pesawat buatannya, Sikumbang, dari Bandung ke Yogyakarta.

Salatun kemudian bermimpi Sikumbang jatuh. Ia sadar tak mungkin membatalkan niat Nurtanio terbang dengan Sikumbang hanya karena mimpi. Salatun pun mencari akal.
Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Biro Penerangan AURI, Salatun lantas menghadap KSAU Suryadi Suryadarma. Dengan hati-hati, ia meminta KSAU mempertimbangkan kembali rencana Nurtanio. Salatun bertanya halus, apa hasil dari menerbangkan Sikumbang ke Yogya akan sebanding dengan risikonya, sebab Nurtanio satu-satunya pembuat pesawat yang dimiliki AU saat itu.
Maka betapa kesalnya Nurtanio ketika ia sudah memakai harnes parasut dan siap masuk ke kokpit Sikumbang, sekretaris pribadinya berlari tergopoh-gopoh menghampiri untuk menyampaikan kabar dia dilarang terbang ke Yogya oleh KSAU.

Untuk menghalau kejengkelannya, Nurtanio tetap lepas landas bersama Sikumbang. Namun mereka cuma terbang berputar-putar di langit Bandung, sekitar Lanud Husein Sastranegara.

Sikumbang, pesawat tempur antigerilya buatan Nurtanio 
Setengah jam kemudian, mesin Sikumbang mati dan Nurtanio mendarat. Nurtanio pun berpikir, andai jadi terbang ke Yogya, ia sudah pasti akan mendarat darurat di wilayah yang dikuasai pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Nurtanio menceritakan hal itu kepada Salatun beberapa hari kemudian saat mereka bertemu. Salatun hanya tersenyum, namun tak memberi tahu Nurtanio larangan terbang ke Yogya itu bemula dari mimpinya semata.

Kisah Salatun soal nalurinya atas Nurtanio itu ia tulis dalam artikel berjudul Nurtanio dalam Kenangan yang dimuat di Angkasa, Juli 2000. Angkasa ialah majalah kedirgantaraan terbitan Dinas Penerangan TNI AU yang kini di bawah Kompas Gramedia. Di media itu, Salatun pernah menjadi Pemimpin Umum.

Intuisi atas semesta pula yang membuat pria kelahiran Mei 1927 itu menaruh perhatian pada antariksa, termasuk unidentified flying object (UFO) yang dalam bahasa awam lebih dikenal dengan sebutan piring terbang.

Selaku pendiri Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Salatun mengukuhkan diri sebagai perintis antariksa Indonesia. Ia memprakarsai pengembangan roket pertama Indonesia, Kartika I, yang sukses meluncur pada 14 Agustus 1964.

Ketika astronot AS Neil Armstrong pertama kali menjejakkan kaki di bulan pada 21 Juli 1969, Salatun melaporkannya langsung via Voice of America dari Pusat Pengendali Antariksa AS National Aeronautics and Space Administration (NASA) di Houston, Texas, yang kemudian disiarkan oleh Radio Republik Indonesia.

Di masa sepuhnya, Salatun kerap berkumpul bersama para sahabat di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat. Di antara mereka ialah Wiweko Soepono dan Suharto. Orang-orang ini bergerak di industri penerbangan dan sama-sama kawan almarhum Nurtanio.

“Kalau sedang kumpul, kami mengobrol aneh-aneh. Bicara (Mahapatih Majapahit) Gajah Mada sampai piring terbang yang dianggap orang lain nonsense. Yang jelas kami semua senang pesawat terbang,” ujar Suharto yang kini berusia 83 tahun.

Ia satu-satunya yang masih hidup di antara para karibnya itu. Sementara Salatun yang mendirikan Klub Studi UFO Indonesia serta menelurkan buku Ke Udara, Sejarah Penerbangan, Putra Angkasa, Menyingkap Rahasia Piring Terbang, dan UFO: Salah Satu Masalah Dunia Masa Kini, wafat pada Februari 2012.




Suryadarma

Komodor Suryadi Suryadarma, Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia yang pertama.



Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, 1955, Perdana Menteri Myanmar U Nu terkesima saat menjejakkan kaki di Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Dia terpana melihat pesawat pengebom North American B-25 Mitchell diparkir berjajar.

“Saya tidak pernah melihat begitu banyak pesawat terbang terparkir berbarengan,” kata U Nu saat mendarat di Bandung untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika.

Majalah penerbangan berbahasa Belanda, Vliegwereld, kala itu menulis Angkatan Udara Republik Indonesia merupakan kekuatan udara “yang paling ditakuti di Asia Tenggara.”

Enam tahun kemudian, 1 Juli 1961, AURI makin menggentarkan. Pesawat pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Uni Soviet mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Indonesia menjadi negara keempat di dunia yang mengoperasikan jet pengebom selain Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet.

Daya pengebom Tu-16 disebut sebanding dengan pesawat pengebom supersonik Convair B-58 Hustler asal Amerika. Tak ayal AURI menjadi kekuatan udara yang amat diperhitungkan dunia. Berbagai jenis pesawat berjejer di Lanud Maospati, Madiun, Jawa Timur (kini Lanud Iswahjudi). Total lebih dari 100 pesawat yang dimiliki Indonesia.

Ada dalam daftar skuadron udara RI ialah 20 jet tempur supersonik Mikoyan-Gurevich MiG-21, 49 pesawat tempur high-subsonic MiG-17, 10 jet tempur supersonik bermesin ganda Mi-G19, 30 pesawat tempur high-transonic MiG-15, dan 24 pesawat pengebom Tupolev Tu-16. Seluruhnya dari Uni Soviet –yang memberikan pinjaman dana kepada Indonesia untuk pembelian alat utama sistem senjata.

Pesawat Mikoyan-Gurevich MiG-21, jet tempur supersonik buatan Soviet yang ditakuti Sekutu. Indonesia memiliki 20 unit pesawat jenis ini di awal 1960



Di antara deretan alutsista udara tersebut, Tu-16 dan MiG-21 paling disorot. MiG-21 kala itu ialah jet tempur penghadang paling ditakuti Blok Barat. Kedatangan pesawat-pesawat itu ke Indonesia diintai oleh Amerika lewat pesawat mata-mata yang diterbangkan dari Jepang.

Begitu melihat pesawat-pesawat itu mengangkasa berjajar –yang sengaja dilakukan AURI untuk unjuk kekuatan– Amerika langsung meminta Belanda membatalkan niat berperang secara terbuka dengan Indonesia dalam konfrontasi Irian Barat.

Apalagi Tu-16 dilengkapi rudal untuk menembak dan menenggelamkan Kapal Induk Karel Doorman milik Belanda di perairan Irian Barat.
Kekuatan melahirkan ketakutan. Bukan hanya negara-negara sekawasan di Asia Tenggara yang jadi ciut nyali, tapi juga di level Asia. China dan Australia misalnya ketika itu belum memiliki armada jet pengebom strategis.
Majalah penerbangan Inggris, Air Pictorial, sampai menulis dalam laporannya, “Ditilik dari sudut materiil, Angkatan Udara Australia ketinggalan total dari Angkatan Udara Indonesia.”

Masa keemasan AURI itu tak lepas dari pemimpinnya. Di bawah Suryadi Suryadarma, Angkatan Udara Republik Indonesia lahir dan dibesarkan. Pria yang disapa Surya itu dipercaya Presiden Sukarno menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara selama 16 tahun.

“Bangga juga saat itu Indonesia ditakuti,” kata Erlangga Suryadarma, putra Surya, kepada CNNIndonesia.com di kantornya, Airfast Indonesia, Tangerang, Jumat (1/4).

Membangun AURI

Surya bukan orang sembarangan. Dia telah makan asam garam sejak Perang Dunia II. Lulusan Koninklijke Militaire Academie atau Akademi Militer Kerajaan Belanda itu ialah satu dari 40 warga Indonesia yang diterima di sekolah tersebut.

Pria kelahiran Banyuwangi yang mewarisi darah keluarga Keraton Cirebon itu terlibat dalam berbagai operasi udara Belanda ketika Negeri Kincir Angin berhadapan dengan Jepang pada awal 1940-an.

Surya ikut bergabung sebagai navigator atau letnan penerbang intai ketika Belanda mengerahkan tiga pesawat pengebom Martin B-10 untuk menyerang armada Jepang di Tarakan, Kalimantan Utara pada Februari 1942.

Dari tiga pesawat itu, hanya satu yang kembali, yakni yang diawaki oleh Surya. Dia pun dianugerahi The Bronze Cross oleh Kerajaan Belanda. Di kemudian hari, Surya harus ‘berhadapan’ dengan Belanda yang tak rela Indonesia merdeka.

Diceritakan dalam buku Aku Sayap Tanah Air: Kisah Hidup dan Perjuangan Bapak AURI Marsekal R. Soeriadi Suryadarma, Surya ditugasi membangun AURI pasca-Indonesia lepas dari penjajah. Dimulai dari aksi merebut sejumlah pangkalan udara dari musuh, Surya memerintahkan agar pesawat-pesawat yang berhasil dikuasai Indonesia segera diperbaiki supaya bisa mengangkasa.

Dua teknisi, Basyir Surja dan Tjarmadi, pun pergi ke Lanud Maguwo (kini Bandara Adisucipto) di Yogyakarta. Di sana banyak pesawat bekas Jepang yang butuh perbaikan. Sebagian besar berjenis Cureng –pesawat latih dengan dua sayap di masing-masing sisi kanan-kiri yang diberi nama Yokosuka dalam bahasa aslinya, dan kerap dijuluki Red Dragonfly saat Perang Pasifik.

Kondisi puluhan Cureng itu lantas dicek oleh Basyir dan Tjarmadi. Hasilnya, hanya tiga pesawat yang masih dalam kondisi baik dan lengkap. Perbaikan pun dilakukan. Dalam waktu singkat, sehari saja, tiga pesawat Cureng telah siap terbang.

Ketiga unit Cureng itu kemudian diberi tanda merah putih di bagian badan sesuai warna bendera Indonesia, dan diterbangkan oleh Agustinus Adisucipto pada 27 Oktober 1945. Adisucipto ialah lulusan Sekolah Penerbangan Militer di Kalijati Subang yang dipanggil Surya untuk ikut membantu membangun AURI.

Pesawat Cureng peninggalan Jepang yang digunakan Angkatan Udara Republik Indonesia di awal berdirinya. (Dok. tni-au.mil.id)
Penerbangan Cureng oleh Adisucipto itu bersejarah. Pascaproklamasi kemerdekaan, kali pertama pesawat ‘berbendera’ Indonesia mengudara.

Enam bulan kemudian, 23 April 1946, saat digelar perundingan pemerintah Indonesia dengan Sekutu –yang disusupi Belanda– terkait pengembalian tawanan perang, satu pesawat pengebom Sokei Ki-48 dan dua pesawat Cukiu Ki-55 terbang dari Maguwo Yogya menuju Kemayoran Jakarta membawa rombongan KSAU Komodor Suryadi Suryadarma yang ditugasi ikut berunding.

Melihat pesawat-pesawat peninggalan Jepang itu mendarat di Bandara Kemayoran, Belanda kaget. Mereka tak sangka delegasi Indonesia tiba melalui jalur udara, dikira bakal menumpang kereta. Rencana mematahkan Indonesia yang belum genap setahun pun kandas.

“Pesawat-pesawat yang diterbangkan orang-orang Indonesia itu menggambarkan bahwa kekuatan udara Indonesia eksis, ada secara fisik. Itu kali pertama Angkatan Udara unjuk kekuatan. Belanda tidak bisa menembak pesawat-pesawat Indonesia karena itu pertemuan yang direstui Sekutu,” kata Erlangga.

Melihat kemegahan armada udara Indonesia era 1950 sampai 1960-an, tak kurang Inggris kala itu menyatakan, “Kekuatan udara terbesar di Asia Tenggara ialah Angkatan Udara Republik Indonesia.”





Kisah Para Komandan Udara Loyalis Sukarno

Kisah Para Komandan Udara Loyalis SukarnoKSAU Suryadi Suryadarma (paling kanan) bersama Presiden Sukarno (kedua dari kanan
 Marsekal Suryadi Suryadarma memeluk istrinya mesra sebelum meninggalkan rumah. Sang Kepala Staf Angkatan Udara RI juga mengecup kening perempuan yang telah memberinya tiga anak itu.

Erlangga Suryadarma, anak kedua Suryadarma, heran. Ritual seperti itu tak lazim dilakukan ayahnya. Biasanya, pagi buta Suryadarma langsung berangkat kerja, dan pukul 06.00 sudah tiba di kantor. Memeluk dan mencium istri sebelum berangkat, tak lumrah ia lakukan.

“Kayak orang baru pacaran saja. Enggak biasanya begitu. Enggak pernah dia pakai sun-sunan. Kami enggak mengerti, tiap kali ada upacara begitu,” ujar Erlangga kepada CNNIndonesia.com di Tangerang, Jumat (1/4).

Pada pagi di luar kelaziman itu, Suryadarma rupanya hendak mengikuti upacara bersama Sukarno. Sebagai KSAU, ia memang kerap mendampingi Presiden saat apel bersama kepala staf angkatan lain.
Belakangan setelah Suryadarma wafat, Erlangga baru tahu alasan ayahnya berlaku lebih romantis jika hendak upacara bersama Presiden: sebab Suryadarma tak tahu apa masih akan ada hari esok baginya.

“Jika terjadi sesuatu, kalau ada orang yang mencoba membunuh Bung Karno, saya akan pasang badan di depan dia,” ujar Suryadarma kepada istrinya, Utami, seperti kemudian diceritakan kepada Erlangga.

Tiap apel, Suryadarma tak suka bila posisi berdirinya terlalu jauh dari Sukarno. Dia selalu berusaha mendekat.

“Bukan untuk cari muka, tapi supaya jika terjadi sesuatu, bisa segera pasang badan. Kayaknya heroik banget, tapi dia memang begitu, memikirkan semua orang,” kata Erlangga yang kini berusia 74 tahun.

Sukarno mengalami beberapa kali percobaan pembunuhan pada periode awal kemerdekaan Indonesia. Untuk melindungi sang Presiden, KSAU Suryadi Suryadarma kerap pasang badan. 
Suryadarma bahkan pernah memberikan jipnya kepada Sukarno untuk melindungi sang Presiden. Jip asal Rusia itu lebih dulu dilapisi baja oleh teknisi Bandara Halim Perdanakusuma yang dipanggil Suryadarma. Lapisan baja berfungsi untuk menangkis peluru yang mungkin diarahkan kepada Presiden saat berada dalam mobil.

Namun begitu jip rampung dirombak dan dibawa ke Istana untuk diserahkan kepada Sukarno, sang Presiden yang mencoba mobil serbaguna itu malah tertawa.

“Panas,” kata Sukarno singkat sambil keluar dari jip lapis baja tersebut.

Di masa Indonesia baru merdeka, percobaan pembunuhan terhadap Sukarno bukan cuma sekali terjadi, dan Sukarno belum punya pasukan pengawal. Maka Suryadarma dengan senang hati jadi tameng tanpa diminta.

Istana diserang prajurit AU

Loyalitas Suryadarma pada Sukarno tak diduga tercoreng ulah anah buahnya. Kejadian pada 9 Maret 1960 membuatnya merasa malu dan bersalah kepada Sukarno.

Pagi itu, aktivitas Skadron Udara 11 di Kemayoran, Jakarta, mulai berdenyut. Skadron tempur yang mengoperasikan pesawat Mikoyan-Gurevich MiG-15, MiG-17, dan MiG-19 itu mengintensifkan latihan mereka karena Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Belanda atas Irian Barat.

Skadron 11 kala itu berlatih dengan MiG-17. Letnan Dua Udara Daniel Alexander Maukar mendapat urutan terakhir terbang. Jelang tengah hari ketika tiba gilirannya mengudara, Daniel mengenakan helm pelindung dan masuk ke kokpit Mi-17 bernomor 1112.

Ia beroleh instruksi untuk mengarahkan pesawat ke selatan Jakarta. Namun pria berdarah Manado, Sulawesi Utara, itu punya rencana lain. Dia berniat menyerang Istana. Daniel terpengaruh Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang bermarkas di Manado.

Permesta tidak puas dengan ketimpangan pembangunan di Manado, dan kecewa dengan pemerintah pusat di Jakarta yang tak membiarkan warga Manado menentukan nasib sendiri. Di sinilah Daniel terseret meski ia sesungguhnya tak begitu mengenal Manado karela lahir di Bandung dan besar di Jakarta.

Menerbangkan MiG-17 hari itu, Daniel terbang rendah di ketinggian 3.600 kaki untuk menghidari radar. Oleh sebab pesawat dilarang melintasi pusat kota, dari atas kawasan Senen, ia terbang memotong jalur ke arah Jalan Sabang dan berbelok ke Istana.

Daniel yang mengaku tahu Soekarno tak ada di Istana, lantas melancarkan serangan dari sudut 45 derajat. Tembakan mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana. Kaca-kaca rontok seketika. Daniel menceritakan ulang kisahnya itu kepada Majalah Angkasa, Juni 2007.

Rentetan suara tembakan mengagetkan warga ibu kota, termasuk KSAU Suryadarma yang sedang mengikuti rapat Dewan Nasional bersama Sukarno di gedung berjarak sekitar 20 meter dari Istana.

Suryadarma, begitu mendengar informasi ada pesawat melepas tembakan, bergegas menuju Istana. Dia mengecek kondisi Istana, dan melihat peluru yang dipakai adalah kanon 37 milimeter milik MiG-17. Suryadarma langsung tahu, ini ulah anak buahnya.

Sang KSAU lalu menemui Sukarno. Dia memberi salam hormat, melepaskan tanda pangkat, dan menyerahkannya kepada Presiden. Suryadarma mengundurkan diri, lantas pulang.

Para perwira Angkatan Udara meminta Suryadarma tak mundur. Namun dia bergeming.

“Kalian tunggu perintah Panglima Tertinggi (Sukarno). Jangan sampai terjadi lagi! Bikin malu,” ujar Suryadarma akhirnya, mengeluarkan amarah di hadapan para bawahannya.

Keesokan paginya, ajudan Sukarno menelpon Suryadarma. Ia diminta menghadap. Di hadapan Presiden, pangkat Suryadarma disematkan kembali.

“Di, saya masih percayakan Angkatan Udara sama kamu. Jangan sampai terjadi lagi,” kata Sukarno, memanggil Suryadarma dengan kependekan namanya.

Sementara Daniel yang menimbulkan kegemparan dihukum penjara seumur hidup. Selama proses persidangannya, Suryadarma banyak membantu. Pun Sukarno mengampuninya sehingga Daniel hanya dibui delapan tahun.

“Dia masih muda dan pilot terbaik. Very good pilot. Dia termakan politik saja,” kata Erlangga.

Nestapa Omar Dhani

Tahun 1962, setelah 16 tahun menjabat, Suryadarma digantikan Omar Dhani, lulusan Royal Air Force staff college Inggris yang pernah menjadi pilot pribadinya.

Omar Dhani, seperti Suryadarma, merupakan loyalis Sukarno. Meneruskan apa yang telah dirintis pendahulunya, Omar Dhani menjaga kejayaan Angkatan Udara RI.

Namun semua itu berakhir setelah Gerakan 30 September 1965 meletus. Enam jenderal dan beberapa prajurit Angkatan Darat dibunuh. Partai Komunis Indonesia dituding menjadi dalang, dan Sukarno dianggap dekat dengan PKI. Bola bergulir liar. Angkatan Udara ikut jadi bulan-bulanan karena mendukung Sukarno.

KSAU Omar Dhani. Kariernya yang melesat cepat, terjungkal sekejap pascaperistiwa G30S. 
Omar Dhani, yang mengira G30S hanya konflik internal AD, mengeluarkan Perintah Harian 1 Oktober 1965 yang fatal dan dinilai tergesa-gesa karena mengesankan AURI mendukung gerakan tersebut.

“Gerakan 30 September untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan pemimpin besar revolusi terhadap subversi (usaha menjatuhkan kekuasaan) oleh CIA. Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat dari anasir-anasir yang didalangi subversif asing dan membahayakan revolusi. Angkatan Udara sebagai alat revolusi selalu menyokong tiap gerakan yang progresif revolusioner,” demikian isi Perintah Harian Omar Dhani yang langsung menjadi bola liar.

Sadar salah langkah, Omar Dhani melakukan apa yang pernah diperbuat Suryadarma: mengundurkan diri. Seperti pada Suryadarma pula, pengunduran diri itu ditolak Sukarno.

Sebulan kemudian, Omar Dhani ditugasi Sukarno melawat ke negara-negara Asia dan Eropa dengan alasan menjajaki kerja sama luar negeri untuk AURI. Pada bulan keenam lawatannya, saat berada di Kamboja, datang surat dari Suryadarma.

Omar Dhani diminta segera kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan Angkatan Udara yang kian tenggelam seiring melemahnya kekuasaan Sukarno.

“Kamu harus bertanggung jawab. Kamu adalah nakhoda Angkatan Udara, jangan bikin malu,” pesan Suryadarma.

Omar Dhani memenuhi tanggung jawab. Ia pulang.

Apel di Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta menjadi pertemuan terakhir antara Suryadi Suryadarma dengan Omar Dhani, dua komandan udara loyalis Sukarno.

Di sela apel, Omar Dhani menepi mendekati Suryadarma. Dia bertanya, “Apakah yang saya lakukan salah?” “Tidak,” jawab Suryadarma. “Bung Karno itu panglima tertinggi kamu. Apapun perintahnya, itu yang harus kamu jalankan.”

Oleh sebab itu saat Omar Dhani dituduh makar, Suryadarma tak terima. Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhkan hukuman mati kepada Omar Dhani, yang kemudian diubah menjadi vonis penjara seumur hidup.
Suryadarma di akhir hidupnya banyak duduk diam menatap horizon. Raut wajahnya seperti orang linglung, lalu kadang menangis. Jatuh bangun mendirikan AURI, matra yang ia banggakan bak kehilangan nyawa selepas G30S.

Kenangan sedih itu tak bisa dilupakan Erlangga, putranya. “G30S yang membuat dia mati. AURI saat itu betul-betul jadi korban karena pro-Bung Karno. Setengah mati bangun Angkatan Udara, hancur begitu saja. Semua dihabisi.”

Suryadarma tutup usia pada 16 Agustus 1975, sehari sebelum Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-30. Sebelum dikebumikan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta, Presiden Soeharto memberikan sambutan saat melepas keberangkatan jenazah almarhum.

“Selama Suryadarma memegang tampuk pimpinan Angkatan Udara RI sampai 1962, ia lebih menitikberatkan pada masalah teknis militer. Semboyannya yang selalu ditegaskan kepada para perwira muda ABRI ialah ‘Jadilah perwira-perwira sejati dan pembela tanah air.’ Para perwira dianjurkan selalu mengikuti perkembangan teknologi, melarang ikut campur urusan politik, serta membendung campur tangan dari luar.”

“Tetapi ternyata penggantinya, Omar Dhani, membuka pengaruh politik dalam AURI sehingga AURI yang semula buta politik, tiba-tiba dipaksa berpolitik...” kata Soeharto seperti dikisahkan dalam buku Aku Sayap Tanah Air: Kisah Hidup dan Perjuangan Bapak AURI Marsekal R. Soeriadi Suryadarma.


Sekelumit Kisah Suram Dirgantara RI di Tengah Gejolak 1966

Presiden Sukarno (kedua kanan) bersama KSAU pertama Suryadi Suryadarma paling kanaN
Suharto masih ingat betul hari itu, 50 tahun silam. Pekan keempat Maret, ia mendarat di Bandara Kemayoran Jakarta bersama Komodor Nurtanio Pringgoadisurjo, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia yang biasa ulang-alik Jakarta-Bandung dengan pesawat ringan Cessna 180.

Kala itu Suharto baru menghabiskan akhir pekan di tempat tinggal Nurtanio di Bandung. Mereka berbincang banyak hal, layaknya sahabat yang lama tak berjumpa. Keduanya memang tak bertemu selama 10 tahun karena Suharto menempuh studi di Universitas Teknologi Braunschweig, Jerman.

Suharto merupakan Staf Teknik PT Berdikari –selanjutnya disebut Komando Pelaksana Proyek Industri Penerbangan (Kopelapip) dan di kemudian hari berubah nama menjadi PT Chandra Dirgantara. Sementara Nurtanio ialah Komandan Depot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan Pesawat Terbang AURI.

Nurtanio dan Suharto punya kegemaran sama: mengutak-atik pesawat terbang. Satu dekade sebelumnya, 1955, saat Suharto masih berkuliah di Institut Teknologi Bandung, ia kerap bertamu ke hanggar kecil Nurtanio yang tak jauh dari indekosnya. Suharto melihat dari dekat, mengamati waktu Nurtanio dan timnya membuat Sikumbang –pesawat pertama karya Indonesia yang seluruhnya terbuat dari logam.

Kembali ke tahun 1966 di Bandung, obrolan asyik Nurtanio dan Suharto harus berujung. Akhir pekan usai. Nurtanio mengantar Suharto kembali ke Jakarta dengan Cessna yang ia terbangkan sendiri. Kebetulan Nurtanio ada urusan di Jakarta dengan seorang Amerika tentang pembelian alat-alat dari Amerika Serikat.

Setiba di Bandara Kemayoran, Nurtanio dan Suharto berpisah. Suharto sempat melihat Nurtanio berbicara dengan si orang Amerika sebelum ia pulang ke rumah.

Esoknya, Senin 21 Maret, Suharto terkejut saat kembali ke kantornya. Kopelapip didemo mahasiswa. Itu memang tahun huru-hara. Nyaris semua hal berbau Sukarno menjadi sasaran demonstrasi, termasuk Kopelapip yang merupakan proyek pabrik pesawat terbang di masa pemerintahan Presiden Sukarno.

Melihat kantornya dikepung mahasiswa, Suharto balik kanan. Ia tak jadi masuk kantor, kembali ke kediaman.

Keesokannya lagi ketika suasana sudah tenang, Selasa 22 Maret, Suharto baru masuk kantor. Namun rekan-rekan sekantornya kaget melihat Suharto. Kemunculannya menimbulkan kehebohan. Ia disangka sosok hantu. Kawan-kawannya berseru bersahutan.

Suharto butuh waktu tak sebentar untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ia kemudian sadar disangka telah mati. Para koleganya bercerita: Nurtanio tewas, pesawatnya jatuh terempas.

Suharto, karena Senin tak masuk kantor, dikira menumpang pesawat Nurtanio yang jatuh dan ikut wafat.

Giliran Suharto kaget, tak sangka kawan yang dijumpainya kemarin lusa kini telah tiada. Suratan takdir tak dapat diduga.

“Padahal Kopelapip itu nantinya yang akan menjadi direktur, yang akan memimpin, ya Pak Nurtanio,” kisah Suharto kepada CNNIndonesia.com di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Jumat (18/3).

Suharto, perintis riset penerbangan RI lulusan Universitas Teknologi Braunschweig, Jerman, yang merupakan kawan Nurtanio Pringgoadisurjo. (CNN Indonesia/Resty Armenia)
Kopelapip, kantor tempat Suharto bekerja, semula diproyeksikan menjadi pabrik pesawat besar. Untuk itu pula Suharto, sekembalinya dari Jerman, bergabung Kopelapip. Namun harapan tinggal angan. Pergolakan politik membuyarkan semua rencana.

“Bung Karno jatuh karena masalah politik. Kopelapip tak jadi besar,” ujar Suharto yang kini berusia 83 tahun, namun masih aktif mengajar sebagai dosen di Universitas Suryadarma, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur –perguruan tinggi swasta di bawah naungan TNI Angkatan Udara.

Suharto mafhum masa itu penuh gejolak. “Saya ingat sekali, tahun 1965 saya pulang dari Jerman, di Indonesia ribut, ada PKI dan segala macam. Pemimpin kantor saya anak buah Bung Karno. Dia akhirnya ditahan.”

Pemimpin Kopelapip ialah Kurwet Kartaadiredja. Dia wartawan dan pengusaha. Pemimpin umum mingguan Pewarta Djakarta yang juga pendukung politik Bung Karno.

Kurwet menjabat sebagai Menteri Negara Kepala Proyek Kopelapip. Ia bekerja bersama Kepala Staf Angkatan Udara Laksamana Omar Dhani dan Komodor Nurtanio.

Kurwet termasuk satu dari belasan menteri yang dituduh terlibat peristiwa Gerakan 30 September. Mayoritas dari mereka ditangkap Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto –yang kemudian naik ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dari belasan menteri yang ditangkap RPKAD, hanya lima orang yang diadili. Sisanya, termasuk Kurwet, ditahan tanpa pernah diadili.

Nasib tak kalah sedih menimpa KSAU Omar Dhani yang –setelah sempat dijatuhi vonis hukuman mati– akhirnya dihukum penjara seumur hidup. Pada periode itu, kemalangan menimpa para loyalis Sukarno, tak terkecuali Omar Dhani dan Kurwet.

Hal semacam ini, meski sempat mengejutkan Suharto yang belum lama pulang ke Indonesia, akhirnya menjadi makanan sehari-hari. “Saya hanya pegawai, orang teknik, mengurusi pesawat terbang. Politik saya tak tahu.”

Proyek gagal

Industri dirgantara tak dapat lepas dari persoalan politik dan ekonomi. Suharto kini sepenuhnya paham.

Kopelapip yang dipimpin Kurwet dengan Nurtanio selaku Manager Umum Teknik dan Produksi misalnya, dibentuk Sukarno pada 17 Agustus 1965 dengan latar belakang politik.

Seperti diceritakan dalam buku Nurtanio, Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia,Kopelapip merupakan proyek pesawat terbang komersial bekerja sama dengan Fokker, pabrik pesawat asal Belanda. Kopelapip akan memproduksi 100 pesawat angkut Fokker F27 Friendship, di dalamnya termasuk pembuatan 20 pesawat untuk Garuda Indonesia.

Berdasarkan rencana semula, dua pesawat akan dirakit di Indonesia, 20 pesawat diproduksi di Belanda, dan 78 pesawat diproduksi sepenuhnya di Indonesia. Untuk itu sebuah pabrik bakal disiapkan di Sunter, Jakarta, tak jauh dari Bandara Kemayoran.
Kopelapip sesungguhnya digunakan pemerintah Indonesia sebagai sarana untuk menembus blokade politik negara-negara Barat dengan menjalin kerja sama dengan Belanda, berhubung saat itu Sukarno sedang menjalankan politik konfrontasi melawan Malaysia.

Namun Barat menentang proyek tersebut. Inggris tak mau menyediakan mesin buatan Rolls-Royce yang diperlukan untuk memproduksi F27 bagi Indonesia. Pemerintah Sukarno pun mencari alternatif mesin buatan Jepang atau Amerika Serikat.

Dalam proyek inilah Suharto terlibat sebagai staf teknik. Namun apapun upaya Indonesia, pada akhirnya proyek itu gagal total. Bukan sebab mesin yang tak tersedia, namun karena kemelut politik di dalam negeri.

Pasca-G30S, pemimpin Kopelapip Kurwet ditahan. Program membangun pabrik pesawat di Sunter disetop, rencana memproduksi 100 pesawat F27 dihentikan, dan kontrak kerja sama Kopelapip dengan Fokker dibatalkan. Kopelapip diambil alih oleh TNI Angkatan Udara dan berganti nama menjadi PT Chandra Dirgantara.

Ambisi Indonesia membangun armada transportasi udara berskala besar lenyap sekejap. Kekacauan politik dan ekonomi berkelindan, memupus impian.

Meski demikian, asa dipertahankan Nurtanio. Melalui Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) yang ia inisiasi sejak Agustus 1960 –lima tahun sebelum Kopelapip berdiri, program produksi pesawat Gelatik dilanjutkan.

Lapip itulah yang menjadi cikal bakal Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (Lipnur), yang kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), selanjutnya berubah lagi jadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, dan kini bernama PT Dirgantara Indonesia.

Nurtanio Pringgoadisurjo, perintis dirgantara Indonesia




Menengok Masa Kelam Angkatan Udara Republik Indonesia

Menengok Masa Kelam Angkatan Udara Republik IndonesiaIlustrasi. (ANTARA/Septianda Perdana)
Bagio Utomo dongkol. Mantan anggota Skadron Teknik 042 itu tak bisa menahan amarah jika mengingat kerja timnya pada 1970 ‘menjagal’ jet pengebom strategis Tupolev Tu-16 buatan Uni Soviet. Padahal Tu-16 merupakan pesawat canggih yang membuat Angkatan Udara Republik Indonesia ditakuti dunia di era 1960-an.

Memiliki Tu-16 kala itu membuat Indonesia menjadi negara keempat di jagat yang mengoperasikan jet pengebom setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet. Tu-16 pula salah satu alasan Belanda takluk terhadap Indonesia pada konfrontasi atas Irian Barat.

Namun, kata Bagio, “AURI harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-Bird dari Amerika.”

Semua itu, ujar Bagio kepada Angkasa, hanya  karena perkara politik. Hubungan erat Indonesia-Uni Soviet pada masa Sukarno, langsung berubah saat Suharto berkuasa.

“Sebelum 1965, Angkatan Udara Indonesia sangat kuat dan amat disegani di Asia Tenggara, bahkan Asia. Pada masa Soeharto, Angkatan Udara menjadi anak tiri dan Angkatan Darat dinomorsatukan,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/3).

Erlangga Suryadarma, putra Kepala Staf Angkatan Udara pertama RI Marsekal Suryadi Suryadarma, mengisahkan betapa ayahnya tertekan dan kerap linglung pada akhir hidupnya melihat kondisi Angkatan Udara yang bak jatuh ke jurang.

“G30S membuat dia ‘mati.’ AURI saat itu betul-betul jadi korban karena pro-Bung Karno. Setengah mati bangun Angkatan Udara, hancur begitu saja. Semua dihabisi,” ujar Erlangga.

KSAU Marsekal Omar Dhani bahkan divonis hukuman mati –yang di kemudian hari diubah menjadi penjara seumur hidup– oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atas tuduhan makar.

Gerakan 30 September 1965 yang disusul pergantian rezim jadi biang keladi kehancuran AURI pada masa itu. Pidato Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto saat mengangkat jenazah enam jenderal dan satu prajurit AD dan dari Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 1965, seketika membuat AURI remuk.

“Jenderal-jenderal kita telah menjadi korban kebiadaban dari petualang yang dinamakan Gerakan 30 September. Kalau melihat daerah ini, ada di kawasan Lubang Buaya. Daerah Lubang Buaya termasuk Lapangan Halim. Dekat sumur ini telah menjadi pusat latihan dari sukwan (sukarelawan) dan sukwati yang dilaksanakan Angkatan Udara. Mereka melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani,” kata Soeharto.

“Tidak mungkin oknum-oknum Angkatan Udara tidak ada hubungan dengan peristiwa ini... Saya berharap anggota patriot Angkatan Udara membersihkan anggota Angkatan Udara yang terlibat petualangan ini,” ujar Soeharto.

Api kebencian terhadap AURI sontak menyala. “Halim dianggap sebagai sarang G30S. Maka pada masa selanjutnya ini menjadi stigma AU,” kata Asvi.

Saat Suharto resmi berkuasa, AURI makin dikebiri. Banyak pesawatnya dilarang terbang dan pabrik roket ditutup. Angkatan Udara yang di masa Sukarno menjadi kekuatan tempur menggentarkan, praktis kehilangan daya.

Meluruskan sejarah

Malam jahanam G30S membuat AURI memasuki masa kelam. Politik merasuk, merusak. Angkatan Udara yang pernah jaya, jadi bulan-bulanan.

Dalam buku Menguak Misteri Sejarah, Asvi bercerita betapa mobil para personel Angkatan Udara ditabrak jip-jip Resimen Para Komando Angkatan Darat. Istri-istri anggota AURI yang berbelanja di pasar di luar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pun ikut diejek.

Jauh sebelum itu, KSAU Suryadi Suryadarma selalu mengingatkan agar Angkatan Bersenjata menjaga jarak dengan urusan politik. Suryadarma menyadari bahaya politik bagi militer sudah sejak Indonesia belum merdeka, saat dia masih bersekolah di Akademi Militer Kerajaan Belanda.
Oleh sebab itu Suryadarma menolak dwifungsi di tubuh Angkatan Bersenjata  untuk mencegah makar dari dalam pemerintahan. Dwifungsi ini antara lain melingkupi perwakilan militer di parlemen, dan penempatan tokoh militer pada posisi penting institusi pelayanan publik.

Sikap Suryadarma itu bertentangan dengan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution yang berpendapat militer harus punya wakil di badan legislatif. Nasution, sejak awal Indonesia merdeka, ingin agar militer dilibatkan dalam percaturan politik.

Dwifungsi yang ditentang Suryadarma menguat ketika dia tak lagi menjabat sebagai KSAU, menjalar ke tiap matra.

Dipinggirkan selama 30 tahun lebih, Angkatan Udara memecah hening. Mereka bergerak meluruskan sejarah. Buku Menyingkap Kabut Halim 1965 diterbitkan tahun 2000 atas prakarsa Perhimpunan Purnawirawan AURI.

Buku itu misalnya membantah ucapan Soeharto 35 tahun sebelumnya yang menyebut Halim bagian dari daerah Lubang Buaya. Basis G30S di Lubang Buaya, menurut penjelasan buku tersebut, merupakan sebuah desa di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma yang berjarak 3,5 kilometer dari Markas Komando Operasi Halim.

Tudingan keterlibatan KSAU Omar Dhani dalam G30S juga dibantah dalam buku itu.Menyingkap Kabut Halim 1965 menegaskan, selama 16 tahun dipimpin Suryadi Suryadarma, AURI tak berpolitik. Sementara Omar Dhani selaku penerus Suryadarma tak melakukan apapun selain “Berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno tanpa reserve.”

KSAU Omar Dhani terkena dampak pergolakan politik di akhir masa pemerintahan Sukarno. (Wikimedia)
Omar Dhani jadi korban karena sehari sesudah G30S, dia mengeluarkan Perintah Harian yang mengesankan AURI mendukung G30S.

Perintah Harian Omar Dhani berbunyi, “Gerakan 30 September untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan pemimpin besar revolusi terhadap subversi oleh CIA. Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat dari anasir-anasir yang didalangi subversif asing dan membahayakan revolusi. Angkatan Udara sebagai alat revolusi selalu menyokong tiap gerakan yang progresif revolusioner.”

Omar Dhani terperosok karena salah sangka. Dia mengira G30S sekadar konflik internal Angkatan Darat.

Upaya Angkatan Udara meluruskan sejarah dinilai Asvi berhasil, terbukti dengan ditunjuknya KSAU Djoko Suyanto sebagai Panglima TNI dan kemudian Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Asvi berkata, “Rekonsiliasi (di tubuh TNI) sudah berlangsung. Stigma atas AU sudah habis terkikis.”

Kini setelah hantu masa lalu berhasil dihalau, Angkatan Udara Republik Indonesia ditantang untuk membangun kembali armada mereka. 


SUMBER : CNN INDONESIA

Minggu, 21 Februari 2016

roket lapan on progres


Roket RUM










alah satu komponen penting dari suatu roket adalah motor roketnya. Motor roket ini menjadi sangat vital dan merupakan teknologi kunci dalam penguasaan teknologi roket. Berbeda dengan roket-roket LAPAN pada umumnya, pembuatan motor roket RUM ini menggunakan material dan teknik perakitan yang khusus. Pada umumnya roket-roket yang dihasilkan oleh LAPAN menggunakan material tabung motor roket dari metal dan  sistem perakitan dilakukan menggunakan baut atau ulir pada bagian cap atau nosel. Adapun motor roket RUM ini   menggunakan materal tabung dari komposit dan sistem perakitan adhessive joint sehingga dihasilkan motor roket yang ringan dan sederhana. Sistem konstruksi dan metode perakitan motor roket ini merupakan hasil penelitian dan perekayasaan yang dilakukan di Pusat Teknologi Motor Roket dan sudah didaftarkan patennya.  Motor Roket RUM dan sistem konstruksinya



Pengembangan Roket EDF/TJ

Fokus riset diarahkan pada pengembangan RKX-200EDF/TJ, yang mampu terbang secara Auto Pilot by Way Points dengan kecepatan 200 km/jam.

















Pengembangan Roket Cair











plan roket indonesia


























Roket Sonda RX320


jangkaun 100-1000km












LAPAN

Senin, 08 Februari 2016

Sukhoi dan TOT, demi kemandirian bangsa

Ilmu itu mahal,sampai pepatah menyatakan cari lah ilmu sampai negeri cina. ilmu bisa di cari tapi tidak bisa di beli. ilmu hanya bisa di pelajari dengan berjalan nya waktu.proses belajar menuntut ilmu inilah yang membuat suatu ilmu menjadi mahal.negara jepang butuh 50 tahun sejak restorasi meiji untuk berubah menjadi negara maju pada saat itu. cina butuh 20 tahun belajar teknology dari rusia dalam hal teknology militer. jadi nilai ilmu sangatlah mahal terutama menyangkut perkembangan technology persenjataan.





Kementerian Pertahanan memutuskan mengganti satu skuadron pesawat tempur jenis F-5 Tiger milik TNI AU dengan pesawat tempur jenisnSukhoi SU-35 dari Rusia. hal  ini dikarenakan pesawat jenis F-5 Tiger diketahui akan memasuki pensiun.

pembelian alutsista tersebut menggunakan sistem 'G to G' (Government to Government) alias kesepakatan bisnis antar pemerintah kedua negara. Proses transaksi pembelian Sukhoi itu dilakukan oleh pemerintah RI dan Rusia

"Kita sepakat akan membeli satu skuadron Sukhoi SU-35 dari Rusia untuk menggantikan pesawat tempur F-5 Tiger,"lengkap dengan senjatanya. kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu 





Pembelian SU-35 akan dilakukan secara bertahap menyesuaikan dengan kemampuan anggaran  keuangan negara. pak Menhan beralasan  anggaran yang di dapat untuk TNI AU tidak hanya untuk pembelian alusista, tetapi juga digunakan untuk perawatan,perbaikan rutin, dan biaya operasional  tni. pastinya ada barang lain berupa alusista yang kita beli untuk menambah kekuatan TNI dan sesuai dengan kebutuhan pada MEF II





Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini mengatakan, pembelian  alusista dari negara rusia juga di sertai transfer off technology  (tot) ilmu pesawat tempur. 
sesuai dengan amanat UU Tentang belanja alusista yang memwajibkan adanya Transfer of technology , yang diharapkan ke  depan nya nanti bangsa indonesia tidak hanya sebagai pembeli alusista pesawat tempur tetapi  dapat menjadi pembuat dan penjual  pesawat tempur, serta menghilangkan ketergantungan  belanja alusista dari negara negara di dunia.






biar lambat asal pasti kelak kita dapat berdiri sejajar dengan negara negara produsen pesawat tempur. jika tidak sekarang.kapan lagi kita mulai kemandirian pembuatan pesawat tempur.


lalu timbul pertanyaan kok mau  ya  pihak russia mau memberikan TOT  ilmu pesawat kepada indonesia yang membeli  "hanya"  12 unit plus beli nya ngeteng, serta mendapat bonus pinjaman kredit utang ringan atau soft loans $ 3 milion US dollar  sekitar Rp.40 Trilyun.  untuk modal   belanja alusista.seperti sukhoi su 35, S-300, pesawat amphiby,tank marinir dan pesawat angkut besar. serta membeli perlengkapan dan persenjataan lengkap untuk pesawat sukhoi.termasuk tambahan rencana pembelian kapal selam Kilo Class atau pun Amur Class.


jika melihat kembali ke belakang ,hal ini pun terjadi pada saat pembelian sukoi batch pertama tahun 2003-2004 dimana pemerintah saat  itu membeli 2 sukoi tanpa senjata dan rudal dengan pola bayar imbal dagang atau di tuker dengan produk sumber daya alam.seperti minyak sawit,batubara,logam biji besi,dan proyek proyek  migas.


maka tidak salah jika boleh menebak maka jika nanti pembelian su-35 disertai ToT,  maka dapat dipastikan ada hal hal lain yang menjadi daya tawar pemerintah agar mendapat kepastian tot untuk alusista tni yang di ajukan kepada pihak russia











dari beberapa penawaran bisnis dan produk sumber daya alam mungkin menjadi  nilai  jual yang membuat russia mau berbagi tot kepada indonesia.maka petikan beberapa surat kabar nasional menjadi dasar acuan beberapa proyek tersebut., adalah : 



1.Proyek tambang aluminium

Perusahaan  aluminium terbesar dunia, Rusia Aluminium (Rusal), menjajaki peluang investasi sektor hulu hingga hilir industri aluminium di Indonesia. perusahaan Rusal siap mengembangkan tambang, membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit untuk memproduksi alumina, serta pengolahan produk jadi 


"Kami tengah mencari mitra lokal sebagai pemasok bauksit dan menjajaki pembangunan smelter alumina di Indonesia. Bisa swasta ataupun BUMN.

Tentunya kami harus menemukan lokasi yang tepat dan memastikan pasokan listrik untuk operasional pabrik," ujar anggota delegasi Rusal yang menolak diungkap namanya, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, potensi Indonesia untuk menjadi produsen alumina terbesar dunia sangat besar. Sebab, Indonesia merupakan produsen bauksit nomor tiga terbesar dunia dengan 40 juta ton per tahun.
Indonesia pun memasok sepertiga kebutuhan bauksit industri aluminium China

2.Proyek kereta api lintas kalimantan

.Salah satu investasi yang akan digarap oleh perusahaan asal Rusia adalah Kereta Api Borneo di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur oleh Russian Rail Ways. Kereta ini rencanaya akan mengangkut hasil tambang batubara. untuk dibawa ke russia lewat jalur laut. kerja sama dengan perusahaan lokal dilakukan dengan pembagian yang menguntungkan


3 .Proyek pengolahan nikel

.Beberapa penawaran juga di berikan oleh indonesia pada rusia  di sektor industri yakni teknologi mutakhir pengolahan nikel, dan bahan tambang lainnya.


4.Proyek Kerjasama bidang kapal terbang,kapal laut, dan   perlengkapan darat

kerjasama di bidang penerbangan dengan PT Dirgantara Indonesia dan Garuda Indonesia, galangan kapal dengan PT.Pal dan produksi perlengkapan tempur berat dengan PT.pindad, serta joint penelitian luar angkasa dengan PT.Lapan , dengan kementerian kelautan,pihak  russia mendapat proyek pengadaan radar untuk memantau kapal kapal pencuri ikan.Serta kerjasama rencana pembuatan PLTN dengan BATAN.


Tidak salah jika semua kerjasama diatas membuat negara manapun di dunia melihat indonesia sebagai negara "sexy" dan kaya raya. jadi mungkin kerjasmaa bidang ekonomi dan  bisnis  di berikan indonesia kepada russia sebagai imbal beli dan nilai tambah .

kutipan harian surat kabar nasional menyatakan "Nilai investasi pembangunan smelter itu sekitar 3-6 milliar dollar AS. dan untuk pembangunan jalur kereta api 2,5 miliar dollar AS,"  sementara jika di total nilai kerjasama bisnis dengan russia di taksir mencapai Rp.50 trilyun rupiah. suatu jumlah yang sangat besar.

maka tidak heran duta besar indonesia untuk rusia sampai mendapat penghargaan dari federasi rusia atas jasa jasa nya mempererat hubungan dua negara yang saling menguntungkan.
mungkin inilah point point penting yang menjadi nilai tawar indonesia terhadap russia.

..........