Pada
tahun 1960-an militer Indonesia sebanding dengan India, melampaui Korea
dan Australia. Kini tahun 2012, dua dari tiga negara tersebut telah
memiliki arsenal nuklir. Sementara Indonesia disibukkan bersaing dengan
negara kecil seperti Malaysia dan Singapura. Itu pun dalam beberapa
sektor, Indonesia tertinggal. Mengapa bisa demikian ?
Mundurnya postur militer Indonesia, terjadi karena TNI tidak memiliki
visi (pandangan ke masa depan) yang jelas, sehingga salah dalam
membangun doktrin militer, serta mudah diombang-ambingkan oleh petualang
politik, baik dari dalam dan luar negeri.
Tahun 1980-an, dalam Rapim ABRI selalu dikemukakan: Indonesia tidak
memiliki ancaman potensial dari negara lain. Para jenderal dan petinggi
TNI, terlena menghabiskan waktu terjun ke urusan politik: jadi Menteri,
Gubernur, Bupati, Walikota dan juga masuk ke legislatif.
Doktrin tidak adanya ancaman potensial dari negara lain, terus dibangun dan dipelihara hingga tahun 2000.
Efek Bola Salju
Efek doktrin tersebut, menjalar ke pemilihan alusista. Indonesia hanya
membeli light tank/ recognaisance Scorpion Inggris yang canonnya
dipasang secara paksa di Belgia. Kapal-kapal perang tua didatangkan dari
Belanda dan Jerman. Pesawat tempur tua dan bekas didatangkan dari
Israel.
Proyek peluru kendali Kartika yang telah dirintis: TNI AD, Uni Soviet,
Lapan dan ITB, terbengkalai. Padahal ahli ahli roket Uni Soviet siang
dan malam bekerja di tempat ujicoba roket Pameungpeuk Garut, untuk
membangun Kartika I.
Semua merasa nyaman dengan peralatan tempur seadanya. Indonesia tidak
memiliki ancaman potensial. Isu yang selalu didengung-dengungkan.
TNI AU hanya diberi pesawat latih/ serbaguna Hawk 100/200. Paling modern adalah F 16, tapi kelas paling bawah Blok 15.
Coba bandingkan dengan peralatan tempur TNI tahun 1960-an. Semuanya
kekuatan pemukul nomer satu. Kapal penjelajah (cruiser) KRI Irian, kapal
Destroyer klas ‘Skory’, fregat klas ‘Riga’, Kapal selam klas ‘Whisky’,
kapal tempur cepat berpeluru kendali klas ‘Komar’, pesawat pembom jarak
jauh Ilyushin IL-28, Tank Amfibi PT-76, MiG-17, MiG-19, MiG-21, Pembom
Strategis Tupolev Tu-16, dan pemburu Lavochkin La-11.
Saat itu, hanya empat negara di dunia ini yang memiliki pembom
strategis, yang bisa terbang sangat jauh, yakni: AS, Uni Soviet, Inggris
dan Indonesia.
24 Pembom Strategis Tupolev Tu-16 Indonesia, sangat ditakuti
Australia dan negara Asia lainnya, karena sudah tentu mereka tidak bisa
melakukan pembalasan.
Mundur Jauh
Kalkulasi TNI tentang ancaman dari luar negeri ternyata meleset. Pada
tahun 2003 Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah mereka dan siap
mempertahankannya dengan kekuatan senjata. Di saat itulah Indonesia
mulai tersadar dari tidurnya yang panjang. Indonesia mulai dari nol
besar, membenahi alusistanya.
Sekarang kita lihat apa yang terjadi dengan India, setelah tahun 2000.
India telah memiliki Arsenal Nuklir. Mereka mulai merakit pesawat
Sukhoi, serta rudal Brahmos (yakhont versi Rusia). India segera
merampungkan pembangunan kapal selam nuklir buatan dalam negeri, INS
Arihan.
Semua teknologi mereka dapat berkat kedekatan dengan militer Rusia yang
terus mereka pelihara. Hal ini terjadi karena India berhasil membangun
visi militer jangka panjang. Bahkan saat ini Rusia menyewakan satu kapal
selam nuklir untuk India, sambil menunggu rampungnya INS Arihan.
India yang miskin kesulitan saat hendak membangun senjata nuklir.
“Dari mana uangnya ?”, tutur pejabat pemerintah India. Rakyat menjawab:
“Kalau perlu kami makan rumput, agar memiliki nuklir”.
India memiliki militer yang kuat, karena membangun doktrin, negara
mereka tidak aman dari serangan musuh. Begitu pula dengan Korea Utara
dan Korea Selatan. Mereka membangun prinsip militer yang sama.
Tahun 1960-an, di saat Indonesia memiliki armada perang yang demikian
hebat, militer memiliki kekuatan yang lemah terhadap gangguan politik.
Di saat bersamaan, agen agen CIA bertambah banyak, karena mereka tidak
mau Indonesia menjadi kekuatan yang membahayakan bagi sekutu AS:
Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura.
Presiden Soekarno berhasil digoyang dan jatuh. Tentu dengan bantuan
para agen CIA. Proyek pengerdilan (bonsai) militer Indonesia dimulai
pada tahun 1970.
Saat itu TNI AU harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat
mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari AS. Anehnya Indonesia
bersedia mematuhi peraturan konyol tersebut. “Mobil ditukar sepeda
onthel”, istilah orang saat itu. Tentu ada yang didapatkan penguasa baru
saat itu, sehingga dia mau melakukan program konyol.
Kapal penjelajah KRI Irian dibiarkan terbengkalai dan berkarat. Demikian juga proyek Rudal Kartika, tutup buku.
Operasi CIA untuk membonsai Indonesia berhasil. Sementara negara
negara sekitar, seperti Malaysia, Singapura dan Australia, secara
bertahap meningkatkan kemampuan militer.
TNI SEKARANG
Kini, gebrakan Departemen Pertahanan untuk membangun kembali Alusista
dalam negeri patut diacungi jempol. Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro, sangat agresif dan berhasil. Semua pembelian alusista dalam
jumlah besar, harus disertai transfer teknologi. Industri militer dalam
negeri juga diberi kesempatan untuk berkembang seluas luasnya.
Hal itu terjadi semasa pemerintahan Presiden SBY. Yang menjadi
masalah adalah, ketika SBY diganti oleh Presiden baru, akankah
percepatan pembangunan alusista TNI terus berjalan ?.
Kekhawatiran ini hanya bisa diatasi apabila TNI mampu membangun visi militer yang jelas dan memiliki kemandirian yang kuat.
TNI telah memiliki pengalaman buruk selama 30 tahun. Semoga mereka
tidak mudah dipermainkan petualangan politik penguasa, pasca Presiden
SBY nanti. Perwira perwira muda TNI harus berani mengambil porsi yang
lebih besar dalam mendisain postur TNI yang handal.(Jkgr).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar