Sabtu, 15 September 2012
TNI R.I. "JALAN PANJANG MENUJU KEBANGKITAN"
Tahun 1980-an, dalam Rapim ABRI selalu dikemukakan: Indonesia tidak memiliki ancaman potensial dari negara lain. Para jenderal dan petinggi TNI, terlena menghabiskan waktu terjun ke urusan politik: jadi Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan juga masuk ke legislatif.
Doktrin tidak adanya ancaman potensial dari negara lain, terus dibangun dan dipelihara hingga tahun 2000.
Efek Bola Salju
Efek doktrin tersebut, menjalar ke pemilihan alusista. Indonesia hanya membeli light tank/ recognaisance Scorpion Inggris yang canonnya dipasang secara paksa di Belgia. Kapal-kapal perang tua didatangkan dari Belanda dan Jerman. Pesawat tempur tua dan bekas didatangkan dari Israel.
Proyek peluru kendali Kartika yang telah dirintis: TNI AD, Uni Soviet, Lapan dan ITB, terbengkalai. Padahal ahli ahli roket Uni Soviet siang dan malam bekerja di tempat ujicoba roket Pameungpeuk Garut, untuk membangun Kartika I. Semua merasa nyaman dengan peralatan tempur seadanya. Indonesia tidak memiliki ancaman potensial. Isu yang selalu didengung-dengungkan.
TNI AU hanya diberi pesawat latih/ serbaguna Hawk 100/200. Paling modern adalah F 16, tapi kelas paling bawah Blok 15.
Coba bandingkan dengan peralatan tempur TNI tahun 1960-an. Semuanya kekuatan pemukul nomer satu. Kapal penjelajah (cruiser) KRI Irian, kapal Destroyer klas ‘Skory’, fregat klas ‘Riga’, Kapal selam klas ‘Whisky’, kapal tempur cepat berpeluru kendali klas ‘Komar’, pesawat pembom jarak jauh Ilyushin IL-28, Tank Amfibi PT-76, MiG-17, MiG-19, MiG-21, Pembom Strategis Tupolev Tu-16, dan pemburu Lavochkin La-11.
Saat itu, hanya empat negara di dunia ini yang memiliki pembom strategis, yang bisa terbang sangat jauh, yakni: AS, Uni Soviet, Inggris dan Indonesia. 24 Pembom Strategis Tupolev Tu-16 Indonesia, sangat ditakuti Australia dan negara Asia lainnya, karena sudah tentu mereka tidak bisa melakukan pembalasan.
Mundur Jauh
Kalkulasi TNI tentang ancaman dari luar negeri ternyata meleset. Pada tahun 2003 Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah mereka dan siap mempertahankannya dengan kekuatan senjata. Di saat itulah Indonesia mulai tersadar dari tidurnya yang panjang. Indonesia mulai dari nol besar, membenahi alusistanya.
Sekarang kita lihat apa yang terjadi dengan India, setelah tahun 2000.
India telah memiliki Arsenal Nuklir. Mereka mulai merakit pesawat Sukhoi, serta rudal Brahmos (yakhont versi Rusia). India segera merampungkan pembangunan kapal selam nuklir buatan dalam negeri, INS Arihan.
Semua teknologi mereka dapat berkat kedekatan dengan militer Rusia yang terus mereka pelihara. Hal ini terjadi karena India berhasil membangun visi militer jangka panjang. Bahkan saat ini Rusia menyewakan satu kapal selam nuklir untuk India, sambil menunggu rampungnya INS Arihan. India yang miskin kesulitan saat hendak membangun senjata nuklir. “Dari mana uangnya ?”, tutur pejabat pemerintah India. Rakyat menjawab: “Kalau perlu kami makan rumput, agar memiliki nuklir”.
India memiliki militer yang kuat, karena membangun doktrin, negara mereka tidak aman dari serangan musuh. Begitu pula dengan Korea Utara dan Korea Selatan. Mereka membangun prinsip militer yang sama.
Tahun 1960-an, di saat Indonesia memiliki armada perang yang demikian hebat, militer memiliki kekuatan yang lemah terhadap gangguan politik. Di saat bersamaan, agen agen CIA bertambah banyak, karena mereka tidak mau Indonesia menjadi kekuatan yang membahayakan bagi sekutu AS: Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura.
Presiden Soekarno berhasil digoyang dan jatuh. Tentu dengan bantuan para agen CIA. Proyek pengerdilan (bonsai) militer Indonesia dimulai pada tahun 1970.
Saat itu TNI AU harus menghapus seluruh armada Tu-16 sebagai syarat mendapatkan F-86 Sabre dan T-33 T-bird dari AS. Anehnya Indonesia bersedia mematuhi peraturan konyol tersebut. “Mobil ditukar sepeda onthel”, istilah orang saat itu. Tentu ada yang didapatkan penguasa baru saat itu, sehingga dia mau melakukan program konyol.
Kapal penjelajah KRI Irian dibiarkan terbengkalai dan berkarat. Demikian juga proyek Rudal Kartika, tutup buku. Operasi CIA untuk membonsai Indonesia berhasil. Sementara negara negara sekitar, seperti Malaysia, Singapura dan Australia, secara bertahap meningkatkan kemampuan militer.
TNI SEKARANG
Kini, gebrakan Departemen Pertahanan untuk membangun kembali Alusista dalam negeri patut diacungi jempol. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, sangat agresif dan berhasil. Semua pembelian alusista dalam jumlah besar, harus disertai transfer teknologi. Industri militer dalam negeri juga diberi kesempatan untuk berkembang seluas luasnya.
Hal itu terjadi semasa pemerintahan Presiden SBY. Yang menjadi masalah adalah, ketika SBY diganti oleh Presiden baru, akankah percepatan pembangunan alusista TNI terus berjalan ?.
Kekhawatiran ini hanya bisa diatasi apabila TNI mampu membangun visi militer yang jelas dan memiliki kemandirian yang kuat.
TNI telah memiliki pengalaman buruk selama 30 tahun. Semoga mereka tidak mudah dipermainkan petualangan politik penguasa, pasca Presiden SBY nanti. Perwira perwira muda TNI harus berani mengambil porsi yang lebih besar dalam mendisain postur TNI yang handal.(Jkgr).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar