Berurusan dengan Negara Belanda sangatlah susah. Padahal Indonesia telah mereka jajah selama 350 Tahun. Harta benda Nusantara habis mereka kuras. Meski demikian Belanda tidak merasa bersalah dan tidak berupaya menolong negara yang pernah mereka jajah. Hingga kini nasib pembuatan light fregat Sigma 10514 di PT PAL Surabaya, tidak jelas. Padahal pada bulan April 2010, pemerintah RI dan Belanda telah sepakat menandatangani pembuatan light fregat atau kapal perusak kawal rudal (PKR) Sigma 10514 yang ditargetkan selesai tahun 2014.
Untuk mendapatkan tanda tangan kerjasama dari Belanda itu, pemerintah Indonesia harus melakukan upaya yang alot dan berliku. Pada tahun 2004, Indonesia memesan 4 korvet sigma ke Belanda dengan imbalan dua korvet dibangun di Belanda dan dua lagi di Indonesia, untuk alih teknologi. Namun keinginan pemerintah Indonesia ditolak Belanda.
Indonesia terus mendesak. Perjanjian pun diubah. Keempat korvet dibangun di Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS) Belanda dengan imbalan, Indonesia akan dibantu membangun Sigma 10514 atau Light Fregat.
Pemerintah Indonesia sepakat dan mengucurkan Rp 8 Triliun untuk 4 korvet Sigma.
Setelah selesai, Pemerintah menagih janji Belanda untuk pembuatan light fregat Sigma 10514 di Indonesia. Penandatanganan kerjasama dilakukan April 2010.
Spesikasi Light Fregat
Light fregat yang akan dibangun memiliki kemampuan: peperangan elektronika, peperangan anti udara, peperangan anti kapal selam, peperangan anti kapal permukaan dan bantuan tembakan kapal. Kapal itu dilengkapi Rudal SAM, SSM dan Rudal anti kapal selam. Sesuai dengan namanya Sigma 10514, kapal ini memiliki panjang 105 dan lebar 14 meter. Dengan kedalaman kapal 8,8 meter dan didorong 4 mesin x 9.240 hp, kapal ini berkecepatan maksimal 30 knot dan kecepatan jelajah 18 knot. Kementerian Pertahanan mentargetkan pembuatan 10 unit kapal.
Namun setelah ditunggu tunggu, hingga tahun 2012 ini, light fregat Sigma yang dijanjikan, tidak juga dibangun di PT PAL Surabaya.
Ingkar Janji ?
Belanda seakan mengulur ngulur waktu dan berharap Sigma 10514 tetap dibangun di Belanda.
Direktur PT PAL Soewoko Kartanegara, menyatakan sampai saat ini prosesnya masih negoisasi. Rencananya blok utama kapal akan dibuat di Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS) Belanda, sedangkan blok lainnya dibuat di Indonesia.
Jumlah personil yang akan dikirim ke Belanda juga menjadi persoalan.
PT PAL ingin mengirim 200 tenaga ahli ke Belanda, tapi belum mendapatkan restu.
Geram dengan tingkah pemerintah Belanda, Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI menemui duta besar Belanda di Indonesia Tjeerd F. De Zwaan.
“Ya, kami meminta dukungan Belanda untuk lebih konsisten dalam supervisi pembangunan kapal tersebut, karena ada beberapa hal yang tidak bisa dikerjakan PT PAL,” ujar juru bicara TNI Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul di Jakarta.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono melakukan pertemuan tertutup dengan Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd F. De Zwaan. Hasilnya, sikap Belanda tidak jelas.
Pemerintah terus menuntut niat baik Belanda, karena light fregat ini telah masuk dalam buku biru Dephan dan TNI yang harus direalisasikan.
Dalam rapat dengan Komisi 1 DPR tanggal 24 Januari 2012, Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, menegaskan, fisik light fregat seharusnya mulai dibangun tahun 2012.
15,8% dari akuisisi Alat Utama Sistem Senjata TNI Tahun Anggaran 2012, telah dialokasikan untuk pengembangan kapal Perusak Kawal Rudal (PKR), teknologi pesawat tempur KFX/ IFX, serta Canon.
Fregat La Fayette
Merasa capek berurusan dengan Belanda, PT PAL mulai mengembangkan Fregat Stealth kelas La Fayette, bekerjasama dengan Perancis dan Singapura.
”Sekarang Indonesia sudah membangun kapal perang modern sejenis fregat kelas La Fayette seperti yang dimiliki Singapura dan akan selesai dalam waktu empat tahun oleh PT PAL”, ujar Menteri Pertahanan 03/2012. Lights Fregat La Fayette digunakan oleh Perancis, Singapura, Arab Saudi dan Taiwan. Kapal ini lebih panjang dari Sigma 10514 Belanda. Panjang La Fayette 125 meter, lebar 15,4, didorong 4 mesin diesel 21.000 tenaga kuda. La Fayette memiliki kecepatan maksimal 25 knots atau 46 km/ jam.
La Fayette bisa diinstal rudal canggih pertahanan udara Aster 15 serta Crotale CN2 CIWS. Kapal ini juga mampu mengangkut helikopter hingga 10 ton seperti Panther, NH 90 atau S-70B Seahawk yang membawa peluru anti kapal selam carry AM39 or AS15.
Fregat ini dibuat Perancis tahun 1998 dan mulai beroperasi tahun 2002. Ia dapat mengarungi laut non stop selama 50 hari.
Selain dari Perancis, baru baru ini Duta Besar Brasil dan Belarus menawarkan kerjasama pembuatan kapal perang ke Indonesia. Bagaimana dengan Belanda ?. Bagaimana menir….(Jkgr)
Bukan pembelian 100 MBT Leopard 2A6 atau tambahan 6 Sukhoi yang menjadi pembicaraan hangat dari milier regional tentang Indonesia. Yang membuat mereka heboh dan terlambat sadar adalah, mengapa Indonesia memiliki 4 Multi-Role LPD berbobot 11,400-ton dan 19 Landing Ship. Jumlah itu menghantarkan Indonesia memasuki papan atas “the most regional amphibious force” di Asia. Mereka mulai bertanya-tanya, mengapa Indonesia memiliki Heavy Landing Platform Dock /LPD dan Landing Ship sebanyak itu ?.
India hanya memiliki 18 landing ship. Sementara Korea Utara hanya 10 medium landing ship. Korea Selatan sedang membangun 4 LST untuk menggantikan kapal pengangkut sisa perang dunia kedua. Malaysia kehilangan satu-satunya Landing Ship Tank LST Sri Inderapura karena terbakar pada tahun 2009. Filipina memiliki 7 namun 5 diantaranya peninggalan dari perang dunia kedua. Vietnam memiliki 6 kapal pendarat namun setengahnya peninggalan perang dunia kedua.
Negara-negara Asia umumnya masih melihat “amphibious forces”, secara tradisional, yakni jumlah kapal tempur dan kapal selam. Sementara bagaimana caranya agar pasukan bisa bergerak dengan cepat melalui laut, belum terlalu menjadi perhatian. Untuk itu, kemampuan tempur negara-negara Asia dianggap terbatas karena minimnya kapal angkut penggerak pasukan.
Situasi tersebut berhasil diatasi Indonesia dengan membangun LPD dan Landing Ship sejak tahun 2003 hingga 2011. Indonesia memiliki 4 LPD 125 M, dimana 2 kapal di bangun di Korea dan 2 kapal dibangun di PAL Surabaya. Kapal Landing Platform Dock 125 M dirancang untuk mampu dipasang senjata 100mm dan dilengkapi Fire Control System, untuk melakukan self defence untuk melindungi pendaratan pasukan, kendaraan tempur, serta pendaratan helikopter.
Kapal LPD 125 meter ini didesain untuk pendaratan: Landing Craft Unit 23 m, operasi ampibi, tank carrier, combat vehicle 22 unit, dan tactical vehicle 13 unit.
Dalam sekali bergerak LPD ini juga mengangkut 507 personil termasuk 354 tentara, crew dan officer. LPD ini juga mengangkut 5 unit helicopter jenis MI-2 atau BELL 412, serta mampu berlayar selama 30 hari secara terus menerus.
4 LPD Indonesia adalah: KRI Makassar-590 dan KRI Surabaya-591(dibangun di Korea), serta KRI Banjarmasin-592 dan KRI Banda Aceh-593 (dibangun di PT PAL, Surabaya). Indonesia masih punya satu lagi LPD yakni KRI Dr Soeharso yang dijadikan kapal bantu Rumah Sakit. Adapun 19 LST Landing Ship lainnya adalah: 6 LSTH tipe Tacoma kelas KRI Teluk Semangka buatan Korea Selatan. Ada pula 12 LSM kelas Frosch I, buatan Jerman Timur, serta 2 AKL-ARL kelas Frosch II, yakni KRI Teluk Cirebon dan Teluk Sabang.
Untuk urusan pergerakan pasukan, Indonesia termasuk yang paling siap di Asia Tenggara. Hal ini wajar karena Indonesia negara yang berbentuk kepulauan (1300 pulau). Untuk masa damai LPD bisa digunakan untuk misi penanggulangan bencana karena Indonesia termasuk wilayah “Ring of Fire” akibat pertemuan lempeng bumi. Jkgr.
Chang Bogo Indonesia
Indonesia pun tidak ketinggalan memesan 3 kapal selam Chang bogo buatan Korea Selatan. Jika dibandingkan dengan Scorpene dan Collin, memang kapal selam Indonesia berukuran paling kecil, yakni panjang 56 meter dengan lebar 6 meter. Bobotnya pun jauh lebih ringan dibandingkan Collins dan Scorpene, yakni hanya 1200 ton. Kapal selam Chang bogo yang imut-imut ini mampu menyelam selama 50 hari tanpa re-suply dan mengusung SUT torpedoes dan UGM-84 Harpoon. Pengguna dari Kapal selam ini hanya Korea Selatan dan satu lagi calon pembelinya adalah Indonesia.
Kapal selam Chang Bogo dijiplak oleh Korea Selatan dari kapal selam Jerman, Type 209/1200. Kapal Selam ini didisain Jerman pada tahun 1960 dan mulai diproduksi tahun 1970-an. Selain tiga kapal selam yang sedang dipesan, Indonesia juga memiliki 2 kapal selam lawas Type 209/1200 Jerman yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala. Kedua kapal itu diretrofit Korea Selatan pada tahun 2004 dan 2006 dan selesai tahun 2009 -2012.
Indonesia membeli tiga kapal selam Chang Bogo Korea Selatan, karena dijanjikan akan mendapatkan ToT, meski harus membayar 300 juta USD. Indonesia semakin tertarik dengan Chang Bogo, setelah Korea Selatan berjanji akan mentransfer teknologi Chang Bogo berbobot 1400 ton. Kapal yang akan jadi tahun 2018 ini sedikit lebih besar dibandingkan KRI Cakra dan Nanggala.
Jika kita melakukan komparasi dengan kapal selam Singapura, Malaysia dan Australia, kapal selam indonesia berukuran paling mini. Ibaratnya anjing kampung yang dikepung Herder. Tidak terbayangkan, apa perasaan para awak kapal selam itu saat mengarungi lautan dan berhadapan dengan kapal selam Sorpene dan Collin. Mungkin yang terbaik adalah kombinasi antara 2 kapal selam Type 209/1200 ton (Cakra dan Nanggala), 3 kapal selam Chang Bogo (Type 209/1400 ton) dan 2 kapal selam Kilo Rusia (2800 ton).
Formasi campuran kapal selam tua dan modern juga diberlakukan oleh Singapura yakni: 4 Scorpene (sedang dipesan), 4 Challenger class (1968) dan 2 Archer Class (1987). Mungkin ada baiknya kita melihat bagaimana Vietnam membangun militer mereka yang nota bene kemampuan ekonominya di bawah Indonesia. Pada tahun 2010, Vietnam memesan 6 kapal selam ke Rusia. Vietnam sadar, di bawah laut mereka harus berhadapan dengan kapal Selam Kilo China dan India, sehingga harus memiliki kemampuan kapal selam, minimal yang seimbang.
Indonesia sebenarnya masih memiliki sisa kredit ekspor 700 juta USD dari Rusia, akibat pembatalan pembelian 2 kapal selam kilo Rusia. Indonesia hendak memanfaatkan sisa kredit itu untuk pembelian 6 jet Sukhoi SU 30, namun ditolak Rusia. Menurut Rusia sisa kredit eksport 700 juta USD untuk pembelian 2 kapal selam kilo, bukan pesawat tempur.
-------------------
rudal kapal perang
Hubungan
Indonesia dengan Perancis, semakin mesra saja pasca pembelian Meriam
155 mm Caesar dan kendaraan taktis Sherpa. Rusia telah menjual rudal
yakhont ke Indonesia. Amerika Serikat menawarkan AIM-120 AMRAAM utk
melengkapi hibah 24 F-16 Block 32++. Tidak mau ketinggalan, Perancis
juga menawarkan salah satu senjata andalan mereka, yakni rudal
anti-kapal Exocet MM-40 Block III.
Indonesia boleh saja telah bekerjasama dengan China untuk membuat
rudal C-705. Bisa jadi, rudal C-705 akan diproduksi masal oleh
Indonesia. Akan tetapi Indonesia tetap membutuhkan peluru kendali yang
mumpuni secara kualitas, sebagai deteren terhadap negara lain. Kemampuan
deteren itu, dimiliki oleh rudal Exocet MM-40 Block 3.Versi terbaru dari rudal Exocet memiliki jangkauan tembak hingga 180 kilometer. Rudal ini digerakkan oleh mesin jet turbofan yang dilengkapi air intake modern. Rudal Exocet Blok 3 juga dilengkapi GPS guidance waypoint, sehingga bisa menyerang kapal atau sasaran permukaan, dengan sudut serang yang rumit, agar susah diantisipasi. Sejumlah kapal perang Indonesia telah dilengkapi rudal exocet versi terdahulu. Antara lain Rudal Exocet MM38. Ada beberapa KRI yang masih mengusung Exocet MM 38, yakni Frigat: KRI Fatahilah, KRI Malahayati, KRI Ki Hajar Dewantara dan KRI Nala.
Empat Kapal Cepat Rudal buatan Korea, yakni KRI Rencong, KRI Mandau, KRI Badik dan KRI Keris, awalnya mengunakan Exocet MM 38. Namun secara bertahap rudalnya mulai diganti dengan C-802 China, yang memiliki jarak tembak maksimum 120 Km. Bandingkan dengan Rudal Aerospatiale MM-38 Exocet yang jarak tembaknya hanya 42 Km. Dan kini sejumlah KRI telah mengusung rudal C-802 buatan SACCADE, antara lain: KRI Todak, KRI Layang, KRI Hiu dan KRI Lemadang.
Sementara Korvet Sigma Class, menggunakan Exocet versi lebih baru yakni MM-40 Block 2. Rudal tersebut dipasang di KRI Diponegoro, KRI Hasanuddin, KRI Sultan Iskandar Muda dan KRI Frans Kaisiepo. Jika jangkauan rudal Exocet Block 2 hanya 70-80 Km, maka Block 3 mampu mengejar sasaran hingga 180 Km. Rudal Exocet Block 3 bisa dioperasikan secara fire and forget, mampu menghindari jamming dan termasuk rudal lintas cakrawala.
Rudal Exocet MM-40 Block 3 pertama kali ditembakkan oleh Frigat Perancis, Chevalier Paul pada 18 Maret 2010 dan sukses menghantam sasaran. Selain Perancis, negara yang telah menggunakan Exocet Block 3 adalah Angkatan Laut Yunani, UAE, Peru< Maroko, Oman dan Qatar.
Saat ini TNI AL memiliki 114 Kapal Perang. Sementara jumlah yang dibutuhkan sedikitnya 376 unit kapal perang. Jadi kekurangannya masih banyak. Dengan adanya rudal Exocet MM-40 Block III, diharapkan jumlah kapal perang yang sedikit masih bisa ditutupi sementara oleh kualitas senjata yang mematikan.(Jkgr).
FREGAT-KORVET BEKAS BRUNEI
Rencana
Indonesia membeli 3 Korvet Nakhoda Ragam Brunei Darussalam memang
ngeri-ngeri sedap. Ngeri, karena semua calon pembeli akhirnya
mengundurkan diri: Vietnam, Aljazair, Irak, Malaysia dan Filiphina.
Sedap, karena sistem komunikasi dan senjata korvet Nakhoda Ragam bisa
diintegrasikan dengan 4 korvet Sigma milik Indonesia.
Sistem senjata dan elektronik ketiga korvet Brunei lebih hebat
daripada korvet Sigma Indonesia. Anti-udaranya telah menggunakan peluru
kendali Seawolf. Sementara Sigma Indonesia masih menggunakan Mistral. Korvet Brunei juga dilengkapi sensor anti kapal selam (Thales Underwater Systems hull-mounted sonar), serta piranti canggih lainnya: Radamec electro-optic weapons director , Thales Sensors Cutlass countermeasures dan Scorpion radar jammer.
7 korvet modern yang bergerak dengan sistem terintegrasi, tentu akan menjadi mesin perang yang mematikan. Belum lagi jika dikombinasikan dengan fregat kelas Van Speijk. Formasi tempur kapal Indonesia akan semakin beragam.
Ditolak Ramai-ramai
Lalu mengapa korvet Brunei ditolak berbagai negara?
Beberapa pengamat militer Internasional menduga, korvet Nakhoda Ragam memiliki cacat teknis. Korvet dikabarkan bergetar dan agak miring ketika dipacu cukup kencang. Hal ini akibat ukuran kapal yang kecil, namun diisi rudal atau sistem senjata yang besar. Getaran kapal dikhawatirkan mempengaruhi sistem stabilizer senjata, sehingga daya tembak bisa tidak akurat. Ukuran Korvet buatan BAE Systems Surface Ships Inggris ini, nyaris sama dengan Korvet Sigma Indonesia buatan Belanda. Keduanya memiliki panjang kurang-lebih 90 meter dan lebar 13 meter. Daya tampung juga sama, kurang lebih 80 kru.
Perbedaan mencolok adalah, Korvet/ Light Frigat Nakhoda Ragam memiliki bobot 1940 ton, sementara korvet sigma lebih ringan, yakni 1692 ton. Bobot yang lebih berat membuat kecepatan jelajah Nakhoda Ragam turun menjadi 22km/jam. Sementara korvet Sigma melaju dengan kecepatan jelajah 33km/jam, untuk jarak 6700 km. Kecepatan Korvet/Light Frigat Nakhoda Ragam yang lambat, membuat bahan bakar dan makanan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak. Sementara kapasitas penampungan logistik terbatas.
Untuk itu banyak yang berpendapat daya jelajah (kemampuan melaut mandiri) Nakhoda Ragam, termasuk pendek dibandingkan kapal sekelasnya (Ocean Patrol Vesel/ Frigate). Korvet Nakhoda Ragam yang mampu mengangkut satu helikopter, dianggap terlalu dipaksakan untuk menjadi Light Frigat. Berbeda dengan Sigma Indonesia yang memang didisain untuk kelas korvet.
BAE Systems Surface Ships Inggris akhirnya menyadari “pemaksaan” model kapal tersebut, dengan memunculkan varian baru Light Frigate Lekiu Class Milik Malaysia. Panjang kapal bertambah menjadi 106 meter (Nakhoda Ragam 90 meter). Kapal varian baru juga memiliki hanggar helikopter dan bisa dipacu stabil pada kecepatan 52 km/jam untuk jarak 5000 km.
Persenjataan
Namun jika dilihat dari jenis persenjataan dan sistem elektroniknya, Light Frigate Nakhoda Ragam sangat siap untuk bertempur.
Persenjataan yang diusung:
• 2 x 4 MBDA Exocet MM40 Block II missile launcher.
• MBDA Seawolf surface-to-air missile.
• 1 x Oto Melara 76mm gun.
• 2 x MSI Defence DS 30B REMSIG 30mm guns
• 2 x 3 324mm torpedo tubes BAE Systems.
• Thales Sensors Cutlass 242 countermeasures. Rudal Exocet MM40 Block II (tenaga roket) bisa dikonversi menjadi Block III (tenaga jet), sehingga jangkuannya mencapai 180 km, dibandingkan Block II hanya 75 km.
Radar dan Alat Sensor:
• Radamec 2500 electro-optic weapons director.
• Thales Underwater Systems TMS 4130C1 hull-mounted sonar.
• BAE Sys Insyte AWS-9 3D E & F-band air & surface radar.
• BAE Insyte 1802SW I/J-band radar trackers.
• Kelvin Hughes Type 1007 navigation radar.
• Thales Nederland Scout radar for surface search.
• 1 Helikopter sekelas S-70B Seahawk
Korvet Nakhoda Ragam telah dilengkapi Nautis II command and weapons control. Nautis II merupakan piranti multifungsi untuk berhadapan dengan ancaman: udara, permukaan dan laut. Data/ informasi disuplai oleh berbagai sensor dan sistem senjata, untuk dimunculkan ke War-Room, seperti navigasi, target tracking, ancaman, alokasi senjata dan weapons control functions. Kemampuan kapal ini hampir sama dengan Light Frigate Lekiu Class Malaysia. Hanya saja Lekiu memiliki hanggar helikopter.
Yang menjadi persoalan, apakah TNI mau berjudi, membeli kapal perang yang ditolak berbagai negara tersebut ? Indonesia memang ditempatkan pada situasi yang tidak memiliki banyak pilihan. Ambang batas minimum persenjataan memang harus dipenuhi. Dan TNI telah menetapkan standar Minimum Essential Force (MEF) yang harus dicapai pada tahun 2014. Sementara program korvet nasional yang dicanangkan sejak tahun 2002, belum juga terwujud hingga tahun 2012.
Ada gap antara kualitas KRI sekarang dengan target modernisasi yang harus dicapai. Untuk menutupi gap tersebut, TNI AL berharap bisa mengakusisi Light Frigate Nakhoda Ragam milik Brunei Darussalam.
Situasi inilah yang disampaikan pihak TNI dan Kementerian Pertahanan saat rapat kerja dengan komisi I DPR. Hasilnya, Komisi I DPR akhirnya mengendurkan tekanannya dalam menolak pembelian 3 fregat buatan Inggris yang diajukan Departemen Pertahanan. “Menurut saya harganya murah sekali. Tapi pada intinya kita upayakan harganya lebih murah,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPR, Hayono Isman. Rencananya Light Fregat Inggris tersebut akan dibeli seharga 300 juta USD.
Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengaku, DPR membentuk tim independen untuk memeriksa kelayakan 3 Light Frigate yang dibeli Brunei tahun 202 tersebut. DPR ingin memastikan harga pembelian ditambah biaya retrofit dan upgrade senjata, masih lebih murah jika dibandingkan dengan pembelian frigat baru.
Ketiga Light Frigate Nakhoda Ragam dihargai 300 juta USD, belum termasuk retrofit karena sudah 10 tahun bersandar di galangan kapal Lursen Jerman. Sementara saat membeli 4 korvet Sigma dari Belanda, Indonesia harus mengucurkan 680 juta USD. Kalaupun TNI jadi membeli 3 Nakhoda Ragam Class, harus benar-benar diperhatikan retrofit dan repoweringnya, untuk memastikan light frigate tersebut benar benar siap bertempur dalam perang modern. (Jkgr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar