tank Leopard, tank Marder, panser Tarantula dan panser Anoa yang memperkuat Korps Kavaleri TNI AD, menjadi berita di media, karena satuan kavaleri, yang memiliki motto Tri Daya Cakti, yaitu daya tembak, daya gerak, dan daya kejut, dengan kekuatan tank dan panser, bisa muncul secara tiba-tiba di saat genting.
|
Kehadiran tank Leopard, tank Marder, panser Tarantula dan panser Anoa yang memperkuat Korps Kavaleri TNI AD, terus menjadi berita di media. Tidak heran, karena satuan kavaleri, yang memiliki motto Tri Daya Cakti, yaitu daya tembak, daya gerak, dan daya kejut, dengan kekuatan tank dan panser, bisa muncul secara tiba-tiba di saat genting. Coba perhatikan di setiap ada krisis, apakah itu di Ukraina, di Kairo, di Bangkok, ataupun di Beijing; juga saat peristiwa Tiananmen, pasti di situ ada tank dan panser mengawal ibukota negara-negara tadi.
Tidak terkecuali pula di Indonesia. Di saat suasana genting Jakarta, 1 Oktober 1965, di mana tidak ada kabar keberadaan para pimpinan Angkatan Darat yang diculik gerombolan Gerakan 30 September, maka perintah pertama Pangdam Jaya kala itu, Mayjen Umar Wirahadikusumah, adalah “Tutup Jakarta!” Segera panser-panser Kavaleri TNI AD memblokade pintu-pintu masuk ibukota, antara lain di Jalan Raya Jakarta-Bogor.
Tahun 1976, Lettu Kav Abu Hussein, komandan satuan tank Batalyon Kavaleri di Bandung mendapat perintah mendadak untuk membawa tank-tank AMX-13 guna bergabung dalam Operasi Seroja ke Timor-Timur.
Segera ia mengerahkan tank-tanknya, membawanya ke Stasiun Kereta Api Bandung untuk diangkut KA menuju Pelabuhan Tanjung Priok guna embarkasi kapal menuju Dili, Timor Timur. Saking sibuknya, Lettu Abu Hussein lupa meminta clearance dari penguasa militer di Ibukota Jakarta. Di tengah jalan ia dicegat satuan-satuan ke-amanan dan ia harus menerangkan alasan pergerakan tank-tank AMX-13 dari Bandung menuju Jakarta tanpa izin karena ini bisa dipersepsikan sebagai upaya kudeta militer karena ada tank-tank tempur masuk ibukota. Alhamdullilah, semua bisa diterangkan secara meyakinkan.
Tentu, kita masih ingat adanya pe-ngerahan tank dan panser di lapangan Monas-Jakarta, dalam suatu apel yang dipimpin Panglima Kostrad Letjen Ryamizard Ryacudu, 22 Juli 2001,
Sejarah juga mencatat bahwa di setiap suasana genting Jakarta, panser-panser Kavaleri TNI AD selalu hadir mengawal ibukota, misalnya saat pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, 1966-1967. Juga saat peristiwa Malari, 15 Januari 1974, dan yang terakhir adalah saat huru-hara Mei 1998, yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto dan dimulainya era reformasi.
Perbedaan tank dan panser ada pada rodanya. Tank adalah kendaraan lapis baja beroda rantai, sedang panser merupakan kendaraan lapis baja beroda ban. Peran tank lebih pada pertempuran di hutan-gunung, sedang panser lebih banyak terlibat di perang kota, utamanya untuk tugas angkut pasukan.
Begitu Belanda mengakui kedaulatan RI, pasca Konperensi Meja Bundar di Den Haag (1949), secara bertahap Angkatan Perang Kerajaan Belanda meninggalkan Indonesia. Peralatan perang ex Belanda lalu diserahkan kepada Angkatan Perang RI, termasuk persenjataan tank dan panser. Bermodalkan tank dan panser ex Belanda tadi maka Korps Kavaleri TNI AD dibentuk pada 1950 dan mulai dilibatkan dalam berbagai operasi militer di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi.
Panser-panser ex Belanda, antara lain dihimpun ke dalam satu batalyon panser, yaitu Batalyon Kavaleri-I Panser/Tentara Territorium III-Siliwangi bermarkas di Desa Purabaya, dekat Padalarang, Jawa Barat. Pada kurun 1958-1959, Batalyon Panser ini dilibatkan dalam Operasi Militer menghadapi pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, antara lain bertugas mengamankan jalan raya Bandung – Cianjur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar